KITAKATOLIK.COM—Koruptor harus dihukum. Selain karena ia membawa kerugian bagi banyak orang pada masa kini maupun masa depan, pribadi yang melakukan tindakan korupsi, sebenarnya sedang berkhianat terhadap hakekat dirinya. Korupsi melukai martabatnya juga.
Hal itu ditegaskan Emanuel Dapaloka, dalam buku barunya berjudul “Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi” yang diterbitkan Altheras, Jakarta. Melalui buku setebal 214 halaman ini, wartawan senior sekaligus penulis buku biografi dan esai ini menegaskan sikapnya itu.
Terutama dalam bab pertama buku yang sejatinya merupakan kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di beberapa media seperti Kompas, Suara Pembaruan, SHALOM, HIDUP dan lain-lainnya, Emanuel menuangkan sikapnya tentang korupsi dengan beberapa judul, yaitu Takdir Manusia Bekerja Bukan Korupsi, Imajinasi adalah Sayap, Agar Manusia Tidak jadi Kera, Habitus Non Facit Monachum dan Hidupkan Imajinasimu.
Buku yang diberikan kata pengantar oleh ahli perpajakan Yustinus Prastowo dan diberikan catatan penutup oleh Romo Andre Atawolo, OFM ini berisi 50 buah tulisan reflekti kritis penulis yang dibagi ke dalam 9 bab.
Dengan tuturan yang lincah, lengkap dan enak dibaca, semua tulisan yang termuat dalam buku ini sebenarnya mengungkap banyak tema, tak hanya korupsi. Pada bab V misalnya, ada tulisan berjudul Ibu Kota, Kota Ibu yang pernah dimuat di Kompas.
Seperti dituturka Emanuel, judul tulisan tersebut dia ambil dari salah satu puisi seniman serbabisa Remy Sylado. Tulisan ini menohok Jakarta yang menurutnya pada Pilgub 2017 telah terciderai perilaku memilukan dan memalukan. Melalui tulisan tersebut, ia sudah mengingatkan Anies untuk bekerja sungguh-sungguh, bukan hanya menebar kata-kata indah nan memukau.
Beralasan penulis meminta Anies untuk tidak terlalu banyak bicara, sebab setelah dilantik pun, sang gubernur masih banyak bicara untuk menyalahkan pendahulunya, tidak segera bekerja untuk mengatasi berbagai persoalan Jakarta. “Berhentilah berkampanye dan mencari, apalagi mencari-cari kesalahan orang lain. Bekerjalah sungguh-sungguh. Sebab jika Anda gagal, sudah pasti Anda akan menjadi seteru dan bulan-bulanan, bukan hanya bagi yang tidak memilih, tapi juga bagi yang memilih,” tulisnya pada halaman 82.
Bagi penulis, Anies tidak boleh gagal dan kalah dalam mengurus Jakarta, sebab jika gagal dan kalah, tak ada orang lagi yang mendengarkannya. Bagaimana mau menjadi Presiden Indonesia, jika gagal mengurus Jakarta? Penulis lalu mengutip sepenggal syair Ibu Kota, Kota Ibu: Bagaimana mungkin orang bisa dipercaya bicara/ jika ia berada dalam kelas yang kalah/ seper* kini Jakarta disesaki olehnya…//
Pada bab 7 ada dua judul tulisan tentang Ahok alias BTP. Yang satu Ahok, The Extraordinary Man dan yang lain Apa dan Mengapa Ahok. Baginya, Ahok dengan segala kelemahannya adalah sosok yang kuat secara mental, tangguh dalam prinsip, pekerja keras, berjiwa besar dan anomali. Karenanya penulis menyesali keputusan 58% pemilih Jakarta yang “mengempaskan” Ahok oleh karena berbagai alasan, termasuk (terutama) karena tidak seiman, padahal dari sisi kinerjanya mereka puas. Dan gentleman, Ahok menerima dan menjalani hukumannya tanpa banyak “cingcong”. Pada bagian paling belakang kita jumpai tulisan berjudul Menyambut Fajar Nadiem dan “Keseolah-olahan”. Keduanya merupakan tulisan paling baru.
Melalui tulisan tersebut ia hendak mengajak pembaca untuk menyambut sejumlah ide Nadiem dalam membangun atau malah merombak berbagai pakem pendidikan yang telah “berkarat”. Melalui tulisan “Keseolah-olahan”, penulis menyatakan kenjengahannya atas perilaku lancung yang dipertontonkan begitu banyak orang untuk mengelabui sesamanya agar tetap dianggap suci murni, sehingga dengan mudah melancarkan berbagai tindakan jahat. (Admin)