Dr Stefanus Roy Rening, SH.MH Mendapat Penghargaan sebagai Tokoh Pemikir Hukum

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Dr. Stefanus Roy Rening, SH.MH mendapat penghargaan sebagai tokoh pemikir hukum oleh Perkumpulan Wartawan Media Kristiani (PERWAMKI) pada Selasa malam (10/11/2020) di Hotel Aston Bellevue, Jakarta Selatan.

Penghargaan itu diberikan PERWAMKI dalam rangka HUT ke-17 perkumpulan para wartawan yang mengabdi di media-media kristiani (kristen dan katolik) ini.

Selain Roy, ada 16 tokoh lain yang mendapatkan peghargaan karena jejak pengabdian yang ditoreh mereka, antara lain Walikota Bekasi Dr. Rahmat Effendi sebagai tokoh toleransi, Drs. Jakob Oetama (Alm) sebagai tokoh pers inspiratif, Handoyo Budhisejati sebagai tokoh organisasi Katolik dan  J. Irwan Hidayat sebagai tokoh jamu herbal inspiratif.

Menurut Ketua Panitia Pelaksana HUT PERWAMKI KE-17 Emanuel Dapaloka, para  tokoh itu adalah orang-orang hebat yang dengan tuntunan mata kakinya, bagai musafir berjalan kian ke mari, menyorotkan matanya melihat kehidupan sesama. Yang mereka lihat itu kemudian turun ke hati, diolah dalam batin lalu muncul dalam aneka tindakan kemanusiaan.

PERWAMKI menilai Dr. Stefanus Roy Rening, SH.MH adalah sosok pemikir hukum, terutama hukum pidana. Melalui buku “Politik Hukum PK dan Perlindungan HAM di Indonesia” yang ditulisnya, pria berdarah campuran Flores dan Tanah Toraja ini menandaskan bahwa Peninjauan Kembali (PK) tidak hanya dibatasi dua (2) kali tetapi bisa berkali-kali selama Novum (bukti baru) tersedia.

“Sebab hakim adalah juga manusia. Dengan keterbatasan alat bukti, ia bisa melakukan kesalahan. Peninjauan Kembali dengan Novum membantu pengadilan kita untuk menciptakan keadilan. Di Belanda yang menjadi rujukan hukum Indonesia, sudah lazim melakukan hal ini,” kata pria yang saat mahasiswa aktif di Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ini.

Selain pemikir, Roy sejatinya adalah seorang pengacara yang cerdas dan sangat teguh dalam prinsip. Dalam pembelaan perkara, ia tidak hanya mengedepankan pehamanan dan argumentasi hukum yang ketat, tapi juga keyakinan dan nuraninya.

Sempat memimpin Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), Roy memadukan pengetahuan hukum, suara nurani dan keyakinannya. Berdoa, karena itu, menjadi salah satu hal terpenting sebelum dan saat memberikan pertimbangan hukum.

Ada dua kasus yang menurut Roy sangat berkesan dalam perjalanan kepengacaraannya. Yang pertama adalah saat ia melibatkan dan mempertaruhkan dirinya dalam perkara Fabianus Tibo, Dominggu da Silva dan Marianus Riwu yang divonis hukuman mati karena tuduhan pembunuhan, penganiayaan dan perusakan di tiga desa di Poso.

Roy mulai terlibat sebagai Ketua Tim Hukum dalam kasus yang bernuansa SARA dan politik tingkat tinggi serta menyita perhatian internasional ini saat perkara tersebut memasuki proses permohonan peninjauan kembali dan grasi.

Selain ilmu hukum, Roy menggunakan seluruh jaringan untuk menyelamatkan ketiga orang Flores yang ia yakin tak bersalah itu. Ia melobby tokoh keamanan maupun aparat pemerintahan. Bersama timnya, ia meminta perhatian gereja Katolik, juga Paus Benediktus XVI di Roma.

Buahnya memang ada. Eksekusi mati sempat ditunda beberapa kali. Tapi pada 22 September 2006, Tibo cs dieksekusi.

Dalam doa, di malam eksekusi dilakukan, ia menemukan bahwa ketiga orang yang tidak berdosa itu, menjadi “martir” bagi gereja dan Indonesia.

Peristiwa kedua yang sangat mempengaruhi kiprahnya adalah ketika ia berhasil membebaskan seorang mantan pastor yang telah divonis mati.

Ia tidak percaya bahwa seorang pastor (mantan pastor) membunuh, apalagi itu kekasihnya sendiri. Bertolak dari keinginan agar reputasi gereja katolik tidak jatuh karena peristiwa itu, Roy pun melakukan investigasi.

Roy mendapat keterangan dari terdakwa bahwa ia pernah pergi membeli jarum dan alat infus untuk menolong wanita tersebut yang kebetulan seorang perawat. Janggalnya, jarum dan alat infus itu tidak dihadirkan jaksa di persidangan. Fakta itu menjadi titik masuk bagi Roy untuk “menyelamatkan” mantan pastor tersebut.

Hakim bersepakat bahwa jarum dan alat suntik tersebut merupakan indikator bahwa terhukum ingin menyelamat nyawa, bukan membunuh. Ketiadaan hasil visum juga menguatkan hakim untuk membebaskan si terhukum dari hukuman mati. (pamago)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *