JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Dalam Surat Gembala dalam rangka Hari Pangan Sedunia (HPS) pada Minggu (16/1/2022), Uskup Agung Jakarata Ignatius Kardinal Suharyo meminta umat untuk menghentikan kebiasaan membuang makanan.
“Bagi kita murid-murid Kristus, membuang makanan bukan hanya merupakan persoalan kerugian materi atau masalah ekonomi belaka, tetapi persoalan iman dan moral. Pangan adalah anugerah Allah bagi semua orang. Membuang-buang makanan dan menjadikannya sampah berarti tidak menghormati hak dasar atas pangan dari saudari-saudara kita yang kurang beruntung,” katanya.
Ia merujuk peringatan Paus Fransiskus akan realitas yang tidak adil dan sangat memprihatinkan bahwa saat ini sebenarnya tersedia makanan yang cukup untuk semua orang, namun tidak semua orang dapat memperoleh bagiannya. Di banyak wilayah di dunia, termasuk di Indonesia, makanan terbuang dan dikonsumsi secara berlebihan, sementara banyak saudari-saudara kita mengalami kekurangan makan.
Terkait kebiasaan “membuang-buang makanan”, Uskup Agung Jakarta membentangkan beberapa konteks aktual yang perlu dijadikan keprihatinan bersama.
Pada tahun 2000-2019, kata Uskup, 39,8% sampah di Indonesia merupakan sampah makanan (KLHK, 2020), berkisar antara 115 hingga 184 kg/kapita/tahun (Bappenas, 2021). Jika dihitung dalam bentuk uang, nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun.
“Artinya, setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan senilai Rp 2,1 juta per tahun. Bahkan, di Kota Tangerang misalnya, setiap orang diperkirakan memboroskan uang senilai Rp 5 juta per tahun dalam wujud sampah makanan yang terbuang (Kompas, 19 Mei 2022),” kata Uskup dalam Surat Gembala yang ditayangkan sebagai pengganti kotbah pada Sabtu dan Minggu (15-16/10/2022) di semua paroki di Keuskupan Agung Jakarta.
Tindakan konkrit
Mengusung tema “Menghargai Pangan sebagai Wujud Penghormatan Martabat Manusia”, Kardinal Suharyo menyebut beberapa tindakan konkrit yang bisa dipraktekkan umat mulai dari lingkungan tempat tinggalnya.
Pertama, menghargai pangan dengan mengupayakan pola makan secukupnya dan sehat serta tidak membuang makanan.
“Ini adalah tindakan iman, karena pangan adalah anugerah Allah bagi semua orang. Membuang-buang makanan dan menjadikannya sampah berarti tidak menghormati hak dasar atas pangan dari saudari-saudara kita yang kurang beruntung,” katanya.
Kedua, mengadakan gerakan solidaritas berbagi bahan makan sehat untuk saudara-saudari kita yang berkekurangan.
Ketiga, para pelaku usaha di bidang makanan dapat mengumpulkan makanan yang tidak terjual/berlebih yang masih layak konsumsi dan menyalurkan kepada saudari-saudara kita yang membutuhkan. Untuk memastikan makanan yang akan dibagikan layak dan sehat untuk dikonsumsi, perlu bekerja sama dengan pihak atau lembaga lain yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Keempat, dengan berbagai cara yang mungkin, umat Katolik dapat menggerakkan lingkungan warga masyarakat di sekitarnya (RT, warga komplek/cluster) untuk menanam tanaman pangan (misalnya kentang, ubi jalar, singkong, sukun, dan lain-lain) pada lahan kosong dan menyediakannya bagi warga yang membutuhkan/kekurangan pangan sebagai gerakan belarasa.
Makan bersama gratis
HPS dirayakan bervariasi di setiap paroki di Keuskupan Agung Jakarta. Di Paroki Curug, Santa Helena misalnya, seluruh umat diajak makan bersama di bedeng atau pendopo gereja.
Menunya beraneka. Ada bubur kacang hijau, bubur ayam, bubur manado, bakso Karawaci dan masih banyak lagi. (Paul MG).