Ini Pasang-Surut Pemakaian Patung dalam Gereja

KITAKATOLIK.COM.– Kebiasaan umat katolik untuk menggunakan patung sebagai sarana berdoa sebenarnya memperoleh akarnya dalam sejarah kekristenan awal. Sudah sejak awal kekristenan, usaha untuk membuat kenangan atau ”gambar” Yesus atau peristiwa-peristiwa penyelamatan telah dilakukan.

Gambar pertama yang ingin mengekspresikan pengalaman perjumpaan umat dengan Kristus dan peristiwa keselamatan yang melingkunginya adalah ikon (gambar ikan). Melalui ikon itu, umat ingin menghadirkan keselamatan yang dibawa oleh penyelamat kita Yesus Kristus.

Ikon, gambar ikan.

Dari simbol ikan, menyusul gambar-gambar lain yang kini bisa diketemukan dalam katekombe-katekombe. Kesemuanya ingin mengungkapkan peristiwa-peristiwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan tafsiran kristen. Dari sana mulailah digambarkan Kristus dan orang-orang kudus, terutama Bunda Maria.

Salib tanpa corpus

Dalam perkembangan kemudian, muncullah simbol salib sebagai tanda karya keselamatan Kristus, dalam penderitaan, kematian dan sekaligus kebangkitan-Nya. Tapi khusus di Gereja Timur (Gereja Byzantin, Antiokhia Barat dan Timur, Gereja Etiopia Gereja Koptik) salib itu dibuat tanpa corpus (tubuh Kristus). Di sana mau ditegaskan bahwa Tubuh Kristus sudah tidak ada lagi. Dia sudah bangkit. Salib tanpa corpus itu mau menunjukkan baik kematian maupun kebangkitan Yesus.

Di kemudian hari, muncul pula salib dengan corpus yang mengungkapkan bahwa penderitaan dan kematian itu dialami oleh Yesus yang sungguh manusia. Mulanya corpus itu adalah corpus Kristus yang bangkit, bukan yang menderita. Di sana mau ditunjukkan keutuhan dan ketakterpisahan antara aspek salib (yang memiliki konotasi lebih kepada penderitaan dan hukukuman) serta corpus Kristus yang mengungkapkan kebangkitan.

Diperkaya budaya Romawi

Lalu muncullah upaya untuk membuat patung-patung. Tidak hanya patung Yesus tapi juga orang-orang kudus, seperti Bunda Maria dan lain-lain. Kebiasaan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya Romawi yang sangat kaya dengan ekspresi budaya dalam bentuk patung. Sementara di Gereja Timur sendiri simbolisasi itu lebih berkembang. Tapi kemudiaan, sejak abad ke-8, terdapat gejala-gejala penyembahan terhadap  patung-patung itu.

Menanggapi fenomena penyimpangan ini, maka pada tahun 726 Kaisar Leo, mungkin juga dipengaruhi oleh orang Islam dan Yahudi, memerintahkan penghancuran semua patung-patung dan gambar-gambar yang ada di dalam gereja-gereja. Sungguh menyedihkan, begitu banyak patung dan gambar Kristus serta orang-orang kudus yang indah dihancurkan pada masa ini.

Sejarah terus berjalan. Muncul perdebatan tentang kehadiran patung itu dalam tubuh Gereja. Paus Gregorius II mengutuk tindakan penghancuran itu, dan St. Yohanes dari Damaskus, seorang pujangga Gereja, juga menentang keras penghancuran patung (ikonoklasme) dengan menerbitkan tiga buah tulisan yang membela penggunaan patung dan gambar.

Patung Pieta, simbol dukacita Maria

Setelah perjuangan panjang dan pengorbanan banyak martir kudus, akhirnya Gereja Katolik dapat kembali menggunakan patung dan gambar-gambar kudus dengan tenang. Ratu Irene, yang berkuasa pada tahun 780, dengan dukungan St. Tarsisius memulihkan kembali penggunaan patung dan gambar kudus di dalam Gereja.

Dalam konsili di Nicea pada tahun 787, akhirnya ditetapkan doktrin mengenai penggunaan patung dan gambar kudus. Kira-kira bunyinya demikian: “Patung salib dan gambar-gambar kudus, baik yang terbuat dari batu maupun bahan lainnya, harus dipelihara. Mereka bukan menjadi obyek penyembahan dalam arti sesungguhnya, yang mana hanya diperuntukkan bagi Allah saja, melainkan mereka berguna untuk mengarahkan orang kepada obyek yang dilambangkan oleh patung-patung dan gambar tersebut.  Adapun sikap yang benar untuk memberi salam, menghormati, membakar lilin dan dupa di depannya, bukan hanya ini sesuai dengan tradisi Gereja, tetapi juga karena penghormatan itu sesungguhnya diberikan kepada Allah dan orang-orang kudus yang dilambangkan oleh patung dan gambar  tersebut.”

Hal ini dikukuhkan pula oleh Santo Thomas Aquinas (1225-1274) karena dianggap penting untuk membantu penghayatan kehadiran Allah yang menyelamatkan. Lagi, sejarah terus berlanjut. Sampai pada sebelum Konsili Vatikan II, praktek doa dengan menggunakan patung itu terus dipertahankan. Dan, seperti biasanya, mengalami juga bermacam-macam deviasi, penentangan, dan juga pengukuhan.

Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Liturgi, yaitu dokumen pertama yang dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II, menegaskan dengan sangat baik, supaya patung-patung di dalam Gereja ditempatkan sedemikian rupa sehingga membantu umat untuk merayakan liturgi dengan tepat dan benar.

Konsili Liturgi art. 125 menegaskan: “Kebiasaan menempatkan gambar dan patung suci untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan. Tetapi jumlahnya jangan berlebihan dan hendaknya disusun dengan laras supaya jangan terasa janggal oleh umat kristiani dan jangan memungkinkan timbulnya devosi yang kurang tepat.” (Paul MG)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *