KITAKATOLIK.COM—Berawal dari kebiasaan berziarah umat perdana, dikembangkan Ordo Fransiskus, jadilah jalan salib seperti kita praktekkan sekarang.
PUKUL 07.00 pagi, ribuan orang sudah turun ke Bukit Sion. Kelompok besar umat yang berasal dari berbagai golongan itu – ada anak-aak, orang dewasa dan lansia – berkumpul di salah satu situs keselamatan itu.
Sekitar pukul 09.00, dengan menggenggam daun palem, mulailah mereka berarak memasuki kota Yerusalem sambil menyanyikan “Hosana Putera Daud”. Sambil melambaikan daun palma, mereka mengelilingi kota Yerusalem sampai ke Anastasis, Basilika yang didirikan oleh Constantinus Agung.
“Anak-anak yang tidak bisa lagi jalan karena kecapaian menangis meminta dipikul dan sambil memanggul anak-anak mereka, para orangtua itu terus berarak. Mereka yang sudah tua berjalan perlahan-lahan dalam barisan panjang itu,” cerita Egeria dalam laporannya berjudul “Itinerarium” yang berarti “Perjalanan”.
Dalam laporannya itu, rahib perempuan ini merekam sebuah perjalanan Minggu Palem yang biasa dilakukan umat kristiani pada tahun 300-san.
Proses ziarah itu berlangsung kurang lebih seminggu. Pada hari-hari itu, para peziarah terus berdatangan ke Yerusalem. Berkelompok-kelompok mereka medramatisasi tahap-tahap perjalanan kesengsaraan Yesus. Ada yang memikul salib. Ada yang meratapi dan ada yang mengiringi perjalanan itu.
Dramatisasi itu dilakuka agar orang memiliki gambaran tentang Kisah Sengsara Yesus, mulai dari Dia dielu-elukan ketika memasuki kota Yerusalem untuk menderita sengsara sampai dengan akhirnya hari Minggu Kebangkitan.
Sejak abad pertama
Catatan Egeria di atas menunjukkan bahwa pada abad keempat, Jalan Salib sudah menjadi praktek kesalehan umat yang sudah mentradisi.
Bahkan jalan salib sudah merupakan kebiasaan umat sejak kematian Yesus. Tiap tahun mereka memperingati misteri Tuhan Yesus, terutama sengsara, wafat dan kebangkitanNya. Mereka datang untuk mengenangkan peristiwa itu dengan berdoa dan juga memperagakan atau mendramatisasikannya.
Stefan Leks juga menerangkan bahwa jalan salib berasal dari praktek ziarah umat di Yerusalem. Menurut dia, umat Kristen abad pertama sangat menghormati tempat-tempat yang berhubungan dengan kehidupan, karya dan kematian Yeus. Di tempat-tempat yang suciitu didirikan kapel/gereja atau pun diletakkan batu khusus.
Selanjutnya tempat-tempat itu dikunjungi, terutama bukit Golgota dan Makam Yesus. Berdassarkan sebuah tulisan kuno dari Siria (abad V), Bunda Maria sendiri mengunjungi tempat-tempat itu.
“Sejak abad ke empat, saat Kaisar Konstantinus berkuasa, para peziarah telah mempunyai tradisi berdoa merenungkan sengasara Yesus melalui jalan yang sekarang dikenal dengan Via Dolorosa. Tradisi tersebut didukung dengan adanya penampakkan Bunda Maria di sana, dan juga pengajaran dari St. Jerome,” kata pakar Kitab Suci dari Lembaga Biblika Indonesia ini.
Sebuah sumber lain menjelaskan bahwa kebiasaan berziarah itu mulai sejak tahun 325 ketika Santa Helena, ibu Kaisar Konstantinus, mecari dan menemukan makam Yesus dalam usahanya untuk mengenali dari dekat tempat Yesus dilahirkan, wafat dan dimakamkan.
Segera makam itu menjadi pusat ziarah orang-orang Kristen. Seiring dengan itu, berkembanglah sebuah bentuk devosi yang menelusuri jejak perjalanan Yesus yang ditempuh sebelum disalibkan, yaitu dari Benteng Antonia sampai ke Kalvari dan berakhir diMakam Suci.
Napak tilas sejak Yesus itu disertai dengan meditasi mengenangkan sengsara Kristus. Pelan-pelan, gereja meresmikan devosi saleh ini.
Peran Ordo Fransiskus
Tapi tidaklah mudah mencapai Yerusalem untuk mengunjungi Makam Suci dan melakukan napak tilas jejak Yesus. Hal ini disebabkan oleh jarak yang jauh, biaya yang tidak murah dan bahaya yang muncul saat terjadi konflik mulai abad ke sepuluh.
Maka gereja mengijinkan membuat semacam Makam Suci di pelataran gereja atau di biara atau di pertapaan. Juga dibuatkan peristiwa-peristiwa utama sengsara Yesus.
Pada tahun 1320, demikian Stefan Leks, Ordo Fransiskan (OFM) diangkat sebagai Ordo yang secara resmi wajib melindungi semua tempat suci di Tanah Suci. Sejak itu, OFM rajin mempopulerkan devosi Jalan Salib, lebih-lebih karena Santo Fransiskus Asisi, pendiri ordo ini, mengalami stigmata.
Para biarawan ordo Fransiskan sangat berjasa dalam mempopulerkan ibadah Jalan Salib ini. Selainkan memungkinkan kemudahan partisipasi dalam ibadah ini, mereka juga menuliskan lirik “Stabat Mater” yang biasanya dinyanyikan pada saat ibadah Jalan Salib, baik dalam bahasa aslinya, yaitu Latin, maupun dalam bahasa setempat.
Pelan-pelan, stasi-stasi itu dilengkapi dengan gambar. Jumlah stasinya beraneka sampai Paus Cloemens XII menetapkannya sebanyak 14 stasi pada tahun 1731. Bapa Suci juga memberi ijin untuk membuat stasi-stasi Jalan Salib itu di setiap gereja. (Admin)