KITAKATOLIK.COM.– Dapat dipercaya atau reputasi positif menjadi salah satu karakter utama yang harus dimiliki, terutama bagi mereka yang bergelut dalam dunia bisnis. Kesadaran itulah yang selalu menggerakkan Yohanes Jo Hanapi untuk selalu menjaga reputasinya agar tetap positif.
“Hanya ketika kita bisa dipercaya, teguh dengan komitmen dalam perjanjian bisnis secara jujur, maka usaha kita bisa bergerak maju,” kata pemilik sekaligus Komisaris Utama PT. Terminal Elektronika Sekawan, yang bergerak dalam bidang keagenan dan penjualan alat pengukur listrik buatan Taiwan ini.
Karena reputasi positif itulah, ia mendapatkan banyak pembeli dalam negeri. Meski berangkat dengan modal pas-pasan, perusahaannya bisa masuk ke perusahaan dan instansi-instansi pemerintah. Karena reputasi positif itu pula, ia bisa mendapatkan barang dari luar negeri – Taiwan dan kemudian Amerika – dengan fasilitas utama.
“Mereka tidak mungkin memberikan barang mereka dengan cara dibayar kemudian, kalau memang reputasi kami jelek,” tegas pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 13 Januari 1960 ini sembari menambahkan bila reputasi Positif itu dibangun dalam waktu bertahun-tahun.
Keseimbangan
Berkaitan dengan pencitraan positif itu, pria yang semasa kuliah aktif di PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) Cabang Salatiga ini selalu memperhatikan pentingnya membangun relasi positif.
Ia menyebut 3 pihak yang menjadi fokus pembangunan relasi positif itu. Yang pertama dengan pabrik atau pemilik mark. Kedua kepada karyawan dan ketiga kepada pelanggan atau customer.
“Perhatian harus kita berikan secara berimbang,” katanya. Caranya? Terhadap pabrik atau pemilik mark, Jo selalu berusaha mengunjungi, minimal setahun sekali. Sekurang-kurangnya selalu membangun kontak. Terhadap karyawan, ia selalu berusaha memperlakukan mereka sebagai aset utama perusahaan. Terutama dalam hal penggajian, ia selalu berusaha memberikan dalam tingkat di atas rata-rata.
“Kalau kebutuhan keluarga mereka tercukupi dengan baik, Kalau kesejahteraan mereka terjamin, konsentrasi kerja mereka akan bagus dan produktivitas mereka niscaya naik,” katanya.
Sementara terhadap pelanggan, ia selalu memperhatikan aspek kepuasan pelanggan. “Dalam bidang yang kami geluti ini, yang paling riskan itu soal pengiriman barang. Pengiriman barang dari luar negeri itu kadang gampang, tapi banyak kali juga sulit. Jadi kita harus selalu sediakan stock yang banyak, sehingga ketika permintaan datang, kita bisa langsung memenuhinya,” katanya. Pihaknya juga bersedia mengganti komponen dari barang yang sudah dibeli bila memang ada yang rusak atau tidak bisa dioperasikan. “Pelayanan purna jual itu sangat kami perhatikan,” kata suami dari Liliastuti Teja ini.
Serba Prihatin
Masa lalu ayah dari Yosua, Winnie dan Adit ini boleh dikata penuh keprihatinan. Ia lahir dalam sebuah keluarga besar, 9 orang kakak-beradik. Ayahnya seorang pedagang ikan asin di Ciamis.
Karena teman-teman ciliknya suka bermain judi di sekolahan, ketika masih duduk di kelas lima SD, ia harus pindah ke Cirebon dan melanjutkan pendidikannya hingga lulus SMA.
Tahun 1980 ia pindah lagi ke Salatiga masuk Universitas Satya Wacana Jurusan Elektro. Saat itu ia mengaku kehidupan yang sangat prihatin. “Saya dibiayai oleh kakak saya. Selama 5 tahun lebih kuliah, saya tidak pernah membeli pakaian baru. Kalau pun ada pakaian baru yang saya kenakan, itu adalah pemberian anak paman saya,” Jo menceritakan fragmen prihatin dalam sepotong perjalanan kehidupannya.
Selepas kuliah pada Agustus 1985, Jo langsung mencari pekerjaan. Tahun 1986 ia bekerja di PT Supertone yang terletak di Glodok, Jakarta Barat. Untuk ke Jakarta, Ia harus meminjam uang dari pamannya sebesar Rp.300.000. Gaji pertamanya sebesar Rp. 350.000 dipakainya untuk melunasi pinjaman itu.
Tahun 1989, Jo pindah ke sebuah perusahaan milik seorang Jerman bernama CV Schmidt Mitra Indonesia yang bergerak dalam bidang keagenan barang. “Saya diminta untuk membuka divisi baru yaitu bidang electronic measuring instrument. Saya set up mulai dari nol,” ujarnya.
Tahun 1995 bisnis ini menuai profit yang sangat menjanjikan. Nah, pada tahun 1996, dengan penyertaan modal masing-masing 25 juta, Jo mengajak tiga orang lagi temannya membuka usaha dalam bidang yang sama. “Kita ke Taiwan dan tanya apakah kita bisa jadi agen sendiri. Ketika disetujui, ya kita jalankan sendiri,” kata penyuka fotografi dan beberapa kali memenangkan kejuaraan foto ini.
Usaha bergulir baik. Tapi di tahun 1998, prahara datang. Seluruh persediaan barang yang berada di Harco Mangga Dua ludes dibakar massa. Beruntung ada tempat penyimpanan barang mereka yang terletak di dekat sebuah hotel di Mangga Dua yang luput dari serangan massa. Usaha sempat lesu apalagi saat itu dollar AS yang sebelumnya hanya Rp. 3.000 melonjak menjadi Rp. 17.000.
“Kami baru bisa bangkit kembali ketika menang tender di Depdiknas. Itu berkat Tuhan,” kata pria yang selalu berusaha melihat peluang dalam setiap kesempatan ini.
Solider
Kepada anak-anaknya dia selalu menanamkan perlunya keberanian menerima tantangan dan juga solider terhadap sesama. “Saya selalu berusaha mengajak mereka untuk melihat hidup ini sebagai perjuangan yang harus dimenangkan. Juga untuk selalu bersikap solider terhadap orang lain, terutama yang kurang beruntung,” Jo mengungkapkan poin nilai yang selalu ditanamkannya kepada ketiga anaknya. (Petrus MG)
Hayooo untuk para kalangan pembisnis sifat seperti ini harus lebih di kuatkan, karena dengan ada nya reputasi dapat mengagkat drajar dari seetiap pribadi.