Kardinal Meminta Umat untuk Mengikuti Semangat Aliran Baru yang Dibawa Yohanes Pembabtis

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Saat Yohanes Pembabtis (YP) tampil, telah ada banyak arus aliran keagamaan di Palestina yang saat itu dijajah oleh pemerintah Romawi. Perbedaan itu antara lain  tercermin dalam perbedaan sikap masing-masing aliran terhadap pemerintahan Romawi.

Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Ignatius Kardinal Suharyo menyebut tiga aliran keagamaan besar yang ada saat itu.

Yang pertema adalah kaum Zelot. Mereka  menolak kehadiran pemerintahan Romawi, bahkan memberontak.

Yang kedua, kelompok Farisi. Kelompok ini berpendapat bahwa Allah telah menyerahkan umatnya, yaitu umat Israel ke tangan pemerintahan Romawi karena mereka tidak setia. Oleh karena itu, kelompok Farisi membentuk suatu kelompok eksklusif, terpisah, yang sangat taat kepada aturan dan hukum. Harapannya, supaya dibebaskan dari  ketidaksetiaan dan penjajahan itu.

“Kelompok Farisi ini selalu memandang orang lain sebagai orang berdosa,” kata Kardinal Ignatius dalam Perayaan Ekaristi Pembabtisan Tuhan Yesus sekaligus pembukaan Tahun Refleksi di KAJ, Sabtu (9/1/2021) yang lalu.

Yang ketiga adalah kelompok Saduki. Mereka ini kelompok opportunis, seperti di mana-mana ada, yang berpihak kepada yang menguntungkan diri mereka. Bersama-sama dengan yang disebut kaum tua-tua,  kelompok Saduki ini adalah kelompok elit yang kaya dan sebagian besar dari mereka merupakan tuan tanah.

Di tengah-tengah keadaan seperti inilah, muncul dan tampil Yohanes Pembabtis (YP). Dia tampil sebagai nabi yang mewartakan pertobatan. Sebagai seorang nabi, YP adalah pribadi yang sehati, seperasaan dengan Allah. Sebagai nabi, dia juga adalah pribadi yang terlibat dengan keadaan nasib bangsanya. Kombinasi ini, kata Mgr. Suharyo, membuat YP mampu menangkap kehendak Allah dan menyampaikan kehendak Allah itu kepada bangsanya yang dinyatakan dalam seruan: Bertobatlah, Allah akan mengampuni kamu!

“Dibandingkan dengan arus-arus keagamaan yang lain, penampilan Yohanes Pembabtis ini istimewa karena dua hal. Pertama, Yohanes Pembabtis mewartakan bahwa semua orang harus bertobat. Ini berlawanan dengan pendapat yang lazim pada waktu itu, bahwa orang-orag pilihan Tuhan tidak perlu bertobat. Yang perlu bertobat itu orang lain,” katanya.

Keistimewaan yang kedua, lanjut kardinal, adalah bahwa babtis yang dilakukan oleh Yohanes Pembabtis itu bukan sekedar babtis ritual, ritus. Sesudah dibabtis tidak ada pembaharuan hidup.

“Yang dilakukan Yohanes Pembabtis adalah babtisan yang menuntut pembaharuan perilaku moral, khususnya moral sosial,” tegasnya.

 Mendengar gerakan keagamaan baru yang dibawah YP, kata Uskup, Yesus pun memutuskan untuk mengikutinya. Yesus memilih ikut di dalam gerakan pembaharuan Yohanes Pembabtis dan membiarkan diri-Nya dibabtis.

“Keputusan inilah yang diteguhkan oleh suara dari surga yang menyatakan: Engkaulah Anak yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan. Artinya keputusan Yesus sebagai manusia untuk ikut di dalam arus pembaharuan keagamaan Yohanes diteguhkan oleh Allah. Dengan peneguhan ini, selanjutnya Yesus akan mengambil keputusan yang baru untuk memulai gerakan yang baru pula,” jelas Uskup lagi.

Seperti Yohanes Pembabtis, umat Katolik   KAJ juga ingin menjalankan peran kenabian dengan menghayati tahun releksi ini dalam semboyan semakin  mengasihi, semakin terlibat, dan semakin menjadi berkat. (pamago)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *