KITAKATOLIK.COM—Tidak semua anak mendapatkan kesempatan atau memilih sekolah di sekolah katolik. Bagaimana dengan pendidikan iman Katolik mereka?
Sebuah sekolah berlaber Kristen yang berada di lingkungan elit meminta para guru yang beragama Katolik untuk menandatangani surat pernyataan yang tak kurang kontroversial. Para guru yang sudah
lama berkarya di pendidikan Kristen tersebut diminta untuk tidak membuat tanda salib di hadapan para murid. Mereka juga diminta untuk tidak mendoakan arwah orang-orang yang sudah meninggal.
Tentu saja, peraturan yang baru dikeluarkan belakangan ini, membuat sebagian guru Katolik di tempat tersebut merasa gerah. Tetapi mereka terpaksa menerimanya.
“Mau bagaimana lagi. Namanya juga mengajar di sekolah mereka,” kata seorang guru Katolik yang sudah hampir satu dasawarsa mengajar di sekolah tersebut.
Tak mendukung
Aturan seperti ini, tentu saja, berdampak pula bagi banyak anak Katolik yang belajar di tempat tersebut. Mereka tidak mengenal sedikit pun tradisi dan kebiasaan-kebiasaan khas Katolik, seperti membuat tanda salib yang merupakan tanda kemenangan Kristus pada awal dan menutup setiap doa.
Ketika mereka melihat para guru yang seagama dengan mereka tak membuat tanda salib, mereka pun menganggap membuat tanda salib bukanlah suatu keharusan atau kebiasaan Katolik.
Lain lagi di sekolah negeri. Berada di lingkungan non-Katolik, warna kelas di hampir semua sekolah negeri yang berada di Banten misalnya, tidak mendukung pengenalan tradisi dan kebiasaan khas Katolik. Bahkan ada beberapa sekolah yang mewajibkan muridnya untuk mengikuti pelajaran agama Islam.
“Kata pak guru, agar kita bisa mengenal agama Islam dan bisa memupuk saling pengertian dan toleransi,” kata Agnes dan Laras, siswi salah satu sekolah SMA Negeri di Banten. Beruntung bagi kedua Suyanto, ini karena mereka telah dibekali dengan ajaran, tradisi dan kebiasaan khas Katolik, sejak di rumah dan di sekolah Katolik sebelumnya.
Begitulah. Lingkungan sekolah sangat menentukan kelanjutan pengenalan atas tradisi dan kebiasaan khas Katolik yang sudah dipupuk dalam keluarga. Ketiadaan praktek-praktek khas katolik di sebuah sekolah bisa menghalangi perkembangan iman anak.
Agar tahan uji
Setiap sekolah niscaya memiliki ciri khas masing-masing. Bahkan sekolah negeri yang seharusnya menjadi sekolah universal dan benar-benar menyediakan kebebasan beragama bagi setiap murid tanpa membedakan agama, telah berubah menjadi sekolah yang mewajibkan anak didiknya belajar agama mayoritas.
Dalam situasi demikian, memang baik bila anak Anda disekolahkan ke sekolah Katolik. Akan tetapi, karena mempertimbangkan kualitas sekolah (mutu), kedekatan dengan rumah tinggal, kurikulum, kualitas lulusan dan biaya, akhirnya faktor kekhasan sekolah (berbasis agama, misalnya) tidak menjadi pertimbangan utama.
Okelah. Anak Anda terpaksa belajar di sekolah non-Katolik. Lalu apa yang perlu Anda lakukan agar iman Anda tidak tergerus oleh pengaruh-pengaruh khas sekolah non-katolik tersebut?
Ketua Seksi Pendidikan di Gereja St. Helena, Paroki Curug, Drs. Yusup Purnomo Hadiyanto, M.M., menegaskan bahwa dalam kondisi demikian, orangtua berkewajiban menjaga agar anaknya tetap kuat dalam iman Katolik.
“Orangtua harus terus member motivasi dan mendukung agar anak tahan uji terhadap lingkungan yang memiliki kebiasaan yang pada umumnya berbeda dalam hal pengembangan iman. Orangtua perlu lebih banyak mengajak anak untuk mengikuti kegiatan pembinaan iman di lingkungan, wilayah, dan tingkat paroki agar pengetahuan dan pemahaman tentang iman Katolik semakin berkualitas,” kata seorang anggota Tim Pleno Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Jakarta ini.
Ia melanjutkan, jika di sekolah itu ada guru yang mengajar Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti secara terjadwal, maka situasinya masih lebih mudah. Selain banyak teman seiman, dimungkinkan pula mengadakan kegiatan kerohanian meskipun tidak sebanyak di lembaga pendidikan Katolik.
Jika di sekolah tidak ada guru yang mendampingi untuk pelajaran, maka anak akan ikut di paroki-paroki yang menyelenggarakan layanan pelajaran Agama Katolik.
“Yang paling penting adalah tetap bangga bahwa anaknya mampu berada di lingkungan sekolah yang anak-anaknya heterogen. Malah ada kesempatan untuk bersaksi, utamanya dalam hal keunggulan kebaikan, kedisiplinan, kejujuran, dan sebagainya. Orangtua perlu mendorong anaknya agar aktif di kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan sekolah lainnya. Hal ini penting untuk pemenuhan kebutuhan bersosialisasi dan sekaligas menampilkan keberadaan anak agar diperhitungkan oleh lingkungnya,” tambahnya. (Admin)
Terimakasih atas informasinya admin, semoga bertambah wawasan yang bacanya