JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), saat ini menuai kontroversi publik. Rancangan undang-undang usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) itu akhirnya oleh pemerintah meminta untuk ditunda pembahasannya.
Alasan ditunda karena dalam RUU HIP tidak menyertakan TAP MPR dan terdapat muatan trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan, dan ekasila, yaitu gotong royong.
Terkait hal ini, Laksda TNI (Purn), A.R. Tampubolon, S.H., M.H dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, Pancasila kedudukannya adalah sebagai dasar negara. Dalam Pasal 1 TAP MPR No. XVIII/MPR/1998, menyatakan Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
“Saya berpendapat kedudukan Pancasila agar seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mempertahankan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa bernegara tanpa harus merubah atau menafsirkannya lagi. Dari sudut politik ketatanegaraan, Pancasila bersifat final (decisif). Tidak perlu diperdebatkan kembali dengan alasan apapun walau perlu penjabaran lebih lanjut sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara,” ungkap pria yang biasa disapa Tampu ini.
Lebih lanjut, mantan Kepala Pengadilan Militer Utama MA RI ini, menjelaskan, pemerintah dalam mengaplikasikan butir-butir Pancasila, telah membuat sebuah panduan yang bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau yang disebut dengan “Eka Prasetya Pancakarsa” dalam era orde baru sebagaimana ditetapkan dalam ketetapan MPR No. II/ MPR/ 1978.
“Walau sebagai produk hukum Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, yang menjadi persoalan apakah seluruh butir-butir pengamalan dari sila-sila Pancasila tersebut benar-benar sudah diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan Negara,” ujarnya dengan nada bertanya.
Oleh karena itu, kata dia, dalam konsep RUU HIP harus secara tegas menggariskan Pancasila sebagai dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita-cita hukum negara, yang merupakan haluan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat dalam tata masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
“Saya tidak sependapat apabila putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PPU-XI/2013 yang menyatakan Pancasila merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa sebagai alasan untuk membuat RUU HIP. Dapat saya katakan tidak cocok untuk dijadikan dasar politik hukum ketatanegaraan untuk menjustifikasi terjadinya perubahan terhadap Pancasila dan dijadikan dokumen ketatanegaraan (dedemologasi).”
“Hemat saya sebagai strategi untuk pembudayaan dan implementasi Pancasila termasuk aspek kelembagaan yang bertanggung jawab secara khusus senada dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan tersebut tidak memiliki kewenangan untuk merubah dan menafsirkan Pancasila tetapi hanya sebatas pembudayaan dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara” urainya. (dalela)