BANDUNG,KITAKATOLIK.COM—Di hadapan pimpinan Universitas Kristen Maranatha, para orangtua dan para dokter muda yang diambil sumpahnya pada Jumad (8/10/2021) yang lalu, dr. Fernando Antonio Rening menyampaikan pidato mewakili ke 82 temannya. Ia didaulat membawakan pidato karena pencapaiannya sebagai lulusan terbaik dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) 3,76.
“Terimakasih kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria…,” ia membuka kata sambutannya dalam Sidang Terbuka Senat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, Bandung dengan judul acara Pengambilan Janji/Sumpah Dokter Periode 2021 yang digelar secara daring.
Nada syukur terasa lebih kuat gaungnya pada tahun ini karena berdasarkan hasil Ujian Nasional periode Agustus 2021, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha yang terakreditasi A itu berhasil masuk lima besar Universitas terbaik di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Selain Maranatha, ada juga Universitas Atmajaya, Jakarta, Taruma Negara, Jakarta, Universitas Andalas, Padang dan Universitas Negeri Solo, Jawa Tengah. Mereka masuk dalam lima besar karena tingkat kelulusannya mencapai 95 persen untuk peserta di atas 50 orang.
Sebagai penganut Katolik, Nando, begitu Fernando Antonio Rening biasa disapa, mengaku tak canggung mengungkapkan terimakasihnya kepada Bunda Maria di sekolah berlatar Kristen Protestan ini.
“Itu memang bagian dari pengalaman iman saya. Selama masa pendidikan dan bahkan jauh sebelumnya, saya memang selalu mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yesus dan bundaNya Maria,” kata putra pertama dari Dr. Stefanus Roy Rening SH, MH dan Margreta Situju, SH ini.
Sejak kecil, Nando mengaku bila orangtuanya selalu menegaskan tiga hal yang harus dipeluk dan tak bisa ditawar-tawar yaitu Tuhan Yesus, Bunda Maria dan Gereja Katolik.
“Itu yang membuat saya rajin berdoa. Kalau bukan Tuhan Yesus dan Bunda Maria, pasti saya tidak akan dapat kejuaraan ini,” katanya. Kebiasaan doa yang telah dipupuk di rumah, ternyata terbawa juga saat hidup sendiri di kostnya di Bandung. Sejak tahun 2015, kelahiran 31 Januari 1997 ini selalu medaraskan doa novena di setiap awal bulan.
Pengalaman pengabulan doa menguatkan kebiasaan doanya ini. Setelah tamat SMA, ia mencoba melamar ke beberapa Fakultas Kedokteran, baik negeri maupun swasta. Meski nilai ujian akhir SMA-nya sangat bagus, ia tak lolos, termasuk di Fakultas Kedokteran Atmajaya, Jakarta. Ia lalu memutuskan memulai doa novena Hati Kudus Yesus.
“Akhirnya keterima di Maranatha, Bandung,” aku pria berkacamata ini. Kebiasaan lain, ia selalu ke gereja sebelum membaca setiap hasil ujiannya. Setiap kali menghadapi ujian, Nando juga selalu khusuk berdoa dan juga minta didoakan oleh kedua orangtuanya.
Belajar dengan berbagi
Sejak awal Nando sadar betul bahwa biaya kuliah di kedokteran, apalagi di Maranatha, tidaklah ringan. Karena itu, sejak awal pula ia bertekad untuk terus meningkatkan prestasi akademisnya. Semangat belajar itu ditunjang oleh keinginan kuat untuk membantu orang, menjadi tangan Tuhan untuk menyembuhkan orang.
“Dokter itu satu profesi yang mulia. Jadi kita harus belajar sungguh-sungguh sehingga saat di lapangan pengabdian nanti, kita benar-benar telah siap dan mampu membantu orang,” ujarnya.
Di saat awal perkuliahan, Nando mengaku agak berat mengikuti irama dan ritme belajar di Fakultas Kedokteran. Apalagi hampir semua mata kuliahnya mengutamakan hafalan. Beda dengan teman-temannya yang langsung ngegas, Nando mengaku agak keteter.
Tak patah arang, ia terus mencari metode belajar yang efektif, terutama untuk mata pelajaran yang mengutamakan hafalan. Di semester IV, pehobi olahraga futsal dan musik ini menemukan metode belajar yang pas dan menggairahkan.
“Setiap bimbingan dan pengajaran dari dosen, saya dengarkan dengan cermat dan catat. Lalu saya baca lagi dan buat catatan ulang yang lalu saya bagikan ke teman-teman. Kita juga bentuk kelompok belajar yang juga rajin membuat catatan-catatan ulang. Catatan-catatan itu kemudian kita bagikan ke kelompok lain yang belum lolos. Ketika saya mencatat ulang dan kemudian menjelaskan kepada orang lain, sebenarnya saya belajar ulang dan membantu orang lain,” Nando berbagi kiatnya.
Bagi Nando, mata pelajaran anatomi merupakan pelajaran tersulit karena berisi detail-detail tentang tubuh manusia dalam Bahasa Latin dan beberapa Bahasa lainnya yang susah dihafal.
Hingga saat pelantikan sebagai dokter muda, Nando telah melewati beberapa kali ujian. Pertama, setelah pendidikan selama normalnya 3,5 tahun, ia mengikuti ujian dan mendapatkan gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Lalu ia mengikuti program profesi yang biasa disebut koas selama dua tahun di Rumah Sakit Immanuel, Bandung. Setelah itu, bersama teman seangkatan lainnya, Nando mengikuti ujian kompetensi dokter. Dalam ujian ini, Nando keluar sebagai juara dengan nilai IPK 3,76.
“Selama koas, kita harus belajar minimal di 13 stase (bidang praktek keahlian) dalam bimbingan doker ahli. Saat itu kita melihat dan belajar bagaimana proses menerima keluhan pasien, melakukan analisa diagnosa penyakit, membuatkan resep untuk pasien, hingga pelaksanaan proses pemeriksaan fisik terhadap pasien,” urai Nando.
Ke Papua
Setelah dilantik, ia menjalankan magang intensif di Papua. Ia memilih Papua, ketimbang Flores yang menjadi tempat asal orangtuanya karena sudah banyak dokter muda yang ke Flores sementara ke Papua masih langka.
“Saya coba yang paling timur. Saya juga tertarik ke Papua karena suasananya baru dan sangat beda dengan di Jawa. Beda daerah, beda penyakit, jadi kita dapat kesempatan untuk menangani penyakit yang beda dari di Jawa,” katanya. Dia menambahkan, selain mengobati penyakit, dia bertekad untuk menggiatkan edukasi kepada masyarakat terkait peningkatan taraf kesehatan masyarakat. (Admin)