KITAKATOLIK.COM—Ibadah Jumat Agung yang digelar kemarin, Jumat (7/4/2023) sangat kaya akan simbol-simbol dan tata gerak yang memiliki makna keselamatan yang sangat dalam. Berikut empat tata gerak dan makna yang dikandungnya.
Pertama: Tanpa lagu pembukaan
Setelah menyanyikan lamentasi (ratapan) tanpa musik, ibadah Jumat Agung dibuka tanpa menyanyikan lagu pembukaan, sesuatu yang sama sekali tak lazim dalam setiap ibadah atau perayaan liturgi katolik.
Mengapa tanpa lagu pembukaan? Tak lain karena esensi dari ibadah Jumat Agung sendiri yang merupakan pengenangan secara istimewa penderitaan dan kematian Yesus.
“Bila di Kamis Putih kita menghayati pemberian diri Yesus secara ritual, dalam Ekaristi, di hari Jumat Agung ini, kita menghayati pemberian diriNya secara nyata,” kata Pater Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD., dosen Liturgi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Katolik (STFTK) Ledalero, Flores, NTT.
“Ia menderita untuk ambil bagian dalam penderitaan manusia tetapi dengan tujuan untuk menunjukkan kepada manusia bagaimana caranya melewati penderitaan dan kematian menuju kepada hidup baru, kebangkitan,” jelas mantan Sekretaris Komisi Liturgi Komisi Liturgi Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) ini.
Keheningan merupakan kondisi dasar yang harus ada, agar makna penderitaan dan sengsara Yesus itu bisa dihayati. Makanya kita diminta untuk hening.
“Sedapat mungkin kita tidak membunyikan lonceng, kita pantang bunyi-bunyian yang lain, yang menimbulkan kegaduhan dengan harapan supaya kita sungguh merenungkan makna terdalam dari penderitaan dan kematian untuk kita manusia,” kata Pater Bernardus. Dia menegaskan, dalam rangka menjaga keheningan itulah, maka lagu pembukaan pun tidak dinyanyikan.
Penjelasan lain datang dari Romo Yohanes Istimoer Bayu Ajie Pr. Dalam hitungan liturgi katolik, kata Romo Bayu, perayaan liturgi itu dimulai dari pukul 18.00 sore. Jadi perayaan Kamis Putih malam itu sudah nyambung dengan Jumat Agung karena sudah masuk Jumat meskipun sebagai istilah, kita menyebutnya Kamis Putih supaya dibedakan dengan Jumat Agung.
“Tapi keduanya adalah perayaan yang menyatu sebenarnya. Misa Kamis Putih tidak ditutup dan komuni yang disantap pada Jumat Agung adalah yang sudah dikonsekrasikan dalam misa Kamis Putih. Karena itu tidak ada lagu pembukaan,” katanya.
Kedua: Imam tiarap
Mengenakan kasula berwarna merah, imam lalu menuju altar dan tiarap di depan altar yang telah dikosongkan pada Kamis Putih malam. Umat ikut berlutut. Setelah bangun, imam langsung menuju altar, berdoa dan dilanjutkan dengan pembacaan kitab suci dan menyanyikan Kisah Sengsara Tuhan Yesus.
Lalu apa makna tiarap? Tentu saja imam tidak hanya sekedar tiarap, tapi tiarap sambil berdoa dalam keheningan. Menurut pastor Christianus Hendrik SCJ, gerak tubuh “tiarap” merupakan penghayatan atas pengosongan diri Yesus.
“Dengan berdoa hening sambil bertiarap, imam mengungkapkan kehadiran Kristus yang ‘nothing’, bahkan ‘tak ada rupa padaNya’ seperti diungkapkan dalam Yesaya. Dan dalam doa itu, sikap Imam yang biasanya sebagai pemimpin agung dalam Ekaristi juga perlu menghadirkan dirinya sebagai ‘nothing’, supaya lebih membantu menghadirkan gambar wajah Allah yang tersalib dan wafat dalam kesengsaraan Yesus di salib,” jelasnya.
Ketiga: Doa umat meriah
Doa umat meriah didaraskan setelah Kisah Sengsara Tuhan. Doa umat meriah ini berisi bermacam-macam permohonan, termasuk untuk negara, untuk umat beragama lain, umat yang belum percaya Yesus, orang yang menderita dan masih banyak lain.
Doa umat meriah dengan aneka macam permohonan itu, kata Romo Dr. E. Martasudjita, Pr menunjukkan universalitas makna wafat Yesus. Bahwa wafat Yesus itu bermakna dan berdampak untuk seluruh umat manusia.
Empat: Mencium salib
Simbol atau tata gerak lain yang dominan adalah mencium atau menghormati salib. Penciuman salib, kata pastor Bosco da Cunha, O’Carm, merupakan ekspresi kagum dan penghormatan kepada Tuhan Yesus yang mengurbankan nyawaNya di kayu salib untuk keselamatan manusia. Melalui tindakan itu, umat turut merasakan betapa besarnya cinta kasih Tuhan sehingga mau dan rela menderita.
“Yang penting bukan istilah mencium, tapi bagaimana hati kita bersembahsujud pada Tuhan,” kata lulusan Licenciat dalam bidang liturgi dari Pontificio Instituto Liturgico Sant’ Anselmo, Roma ini.
Penghormatan kepada Kristus yang tersalib, adalah sesuai dengan Sabda Tuhan sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus, “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain dari Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor 2:2).
“Pada saat kita menghormati salib Kristus, kita mensyukuri rahmat kasih-Nya yang tak terbatas, yang telah menyelamatkan kita. Kita mensyukuri kasih-Nya yang terbesar, sebab tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya. Dan penyerahan diri ini nyata terlihat dari Sang Crucifix, yaitu Kristus yang tersalib,” terangnya. (Admin/dbs).