TANGERANG,KITAKATOLIK.COM—Selesai misa Minggu Palem, umat Katolik biasanya membawa pulang daun yang sudah diberkati oleh pastor dan meletakkannya di atas Salib yang menempel di dinding ruang tamu.
Salah satu alasan, agar bisa terjaga dengan baik, mengering dan kemudian bisa dibawa kembali ke gereja, dibakar, diberkati dan digunakan sebagai simbol pertobatan dalam perayaan Rabu Abu.
Karena itu sungguh tak elok bila daun yang sudah diberkati tersebut ditaruh di sembarangan tempat atau dibuang di tempat sampah.
Menurut Pastor Constantius Eko Wahyu, OSC, tempat yang pas untuk meletakkan daun palem adalah di atas Salib.
“Keduanya menampakkan paradoks. Palem lambang kemuliaan dan salib adalah lambang kutuk bagi orang Yahudi tapi menjadi jalan keselamatan bagi kita,” kata pastor Eko dalam kotbahnya pada Minggu Palem, Minggu (10/4/2022) di Paroki Curug, Santa Helena, Tangerang.
Dua peristiwa paradoks itu, kata Pastor Eko, nampak dalam bacaan-bacaan suci pada Minggu Palem ini. Peristiwa yang pertama adalah dalam Lukas 19 ayat 38 yang biasanya dibacakan sebelum perarakan daun palma dan seringkali didramatisir dalam prosesi perarakan.
“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” bunyi ayat tersebut, lanjut pastor Eko, mengungkapkan kekaguman orang Galilea dan Yerusalem karena mukjizat-mukjizat Tuhan yang telah dilakukan Yesus.
“Mereka berteriak memuji karena melihat begitu banyak mukjizat yang dilakukanYesus. Di jalan Galilea menuju Yerusalem sebanyak 6 mukjizat dan di Yerusalem satu kali yaitu saat Yeus melekatkan kembali telinga Maltus,” katanya.
“Karena mukjizat-mukjizat tersebut, semua orang di Galilea dan Yerusalem sadar bahwa Yesus itu mesias,” katanya.
Sementara peristiwa kedua yang paradoks dengan itu ada dalam Lukas 23: 18 yang berisi penolakan radikal pada Yesus. “Tetapi mereka berteriak bersama-sama: ‘Enyahkanlah Dia, lepaskanlah Barabas bagi kami!’”
“Mereka menjadi terbalik karena orang Fasisi dan Ahli Taurat meracuni mereka. Sehingga teriakan diberkati berubah menjadi salibkan Dia,” kata Pastor Eko dalam perayaan Ekaristi yang dihadiri oleh umat yang memenuhi hampir seluruh tempat duduk yang telah diatur sesuai protokol kesehatan yang ketat yang berada di dalam gedung gereja hingga ketiga lantai GKP (Gedung Karya Pastoral).
Jangan lupa identitas
Mengapa paradoks itu mungkin atau bisa terjadi? Salah satu sebab, menurut Pastor Eko, karena tak memiliki pijakan yang jelas, suka ikut ramai, suka yang ngetrend, tak punya pendirian dan lupa identitasnya.
“Manusia sekeringkali melupakan identitas dirinya, jati dirinya, tanggungjawabnya. Kita lebih senang menjadi orang yang seolah-olah fleksibel, seolah-olah menjadi seorang pribadi yang mudah menyesaikan diri, yang gampang bergaul, supel. Padahal sesungguhnya menjadi pribadi yang tidak mau menanggung resiko. Tidak mau berkorban, tidak mau menderita dan kadang ditolak atau dikucilkan,” tegas Pastor Eko.
Ia mengajak umat untuk mengisi Pekan Suci, terutama Trihari Suci nanti sebagai kesempatan untuk merenungkan dan meneguhkan kembali identitasnya sebagai pengikut Kristus.
“Pekan suci adalah saat Anda untuk kembali merenungkan panggilan hidup Anda, identitas Anda, jati diri Anda sebagai pengikut Kristus. Mari kita bercermin pada kesetiaan Yesus dalam menjalankan kehendak BapaNya,” kata pastor kelahiran 11 Maret1969 ini.
Nah, meletakkan daun palma di atas salib yang menempel di dinding rumah, di tempat yang mudah dilihat, di pusat pandangan kita setiap hari, merupakan peringatan akan kelemahan dan kerapuhan kita: Di satu sisi, kita memuji Dia, tapi di lain sisi, kita berkhianat oleh dosa dan pelanggaran-pelanggaran kita.
Juga menjadi peringatan bagi kita bahwa kita harus bisa menerima salib, penderitaan dan perjuangan sebagai bagian dari kehidupan, bukan hanya kegembiraan dan sukacita belaka . (Admin)
Kitakatolik
Seluruh jiwaragaku berpegang teguh atas Yesus kristus
Bahkan petaruh nyawaku untuk Yesus,tidak akan berpaling dari dia sampai maut menjemputku
????????????????????????????????????????