KITAKATOLIK.COM—Saat ini kita sedang dihadapkan dengan sebuah virus yang kehadirannya tak terduga yaitu COVID-19. Virus yang muncul pertama kali pada medio November 2019 ini telah menyebar ke seluruh dunia dan dianggap sebagai pandemi. Untuk Indonesia, virus mematikan yang sangat mudah menyebar ini muncul pada 2 Maret 2020.
Kehadiran COVID-19 berdampak buruk bagi banyak sendi kehidupan sebuah negara dan masyarakat. Menggoyahkan dan merontokkan bidang ekonomi, sosial, politik, termasuk juga kerohanian dan keagamaan.
Karena hingga kini belum ada obat atau vaksin yang bisa mengalahkan dan menghentikannya, masyarakat dunia dipaksa untuk menerapkan pola hidup baru, antara lain dengan kewajiban untuk taat pada protokol kesehatan yaitu menjaga jarak (social distance), memakai masker, menghindari kerumunan dan mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir atau hand sanitizer.
Tunduk pada protokol kesehatan, banyak aktivitas di ruang publik pun dihentikan, termasuk juga kegiatan peribadatan. Banyak rumah ibadah ditutup. Sebagian umat lalu melakukan kegiatan kerohanian dan keagamaan secara online.
Bagi sebagian umat, kegiatan ibadah secara online (worship from home) ini tidak terlalu efektif karena anggapan bahwa ada penurunan nilai spiritualitas kerohanian, berbeda ketika melakukan ibadah secara langsung atau offline.
Kondisi pandemi inipun membuat banyak umat lupa akan kegiatan rohani mereka karena disibukkan dengan berbagai permasalahan duniawi akibat pandemi ini. Bahkan, tidak jarang ada umat semakin mati imannya karena tidak percaya lagi kepada Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberikan cobaan yang terlalu besar dan tega membiarkan umatnya dilanda peristiwa dan permasalahan yang begitu berat dan menakutkan serta membuat hampir seluruh dunia mengalami penderitaan. Mereka pun mempertanyakan kepedulian dan cinta Tuhan pada umatNya. Rohaninya menjadi kering.
Kehadiran pemikiran Anthony de Mello di tengah pandemi
Anthony de Mello lahir di Mumbai, India pada 4 September 1931 dari pasangan Frank de Mello dan Louisanée de Mello. Tony de Mello dikenal sebagai imam Yesuit serta dikenal sebagai seorang psikoterapis India yang sudah terkenal ke seluruh dunia yang telah merintis perjalanan imannya sejak umur yang sangat muda yaitu 16 tahun.
Pemikiran dan karya penulis buku “Burung Berkicau” ini telah menyebar ke seluruh dunia. Karena pemikiran dan permenungannya terbuka dan bebas, ajaranya menembus batas agama dan bisa diterapkan oleh semua umat beragama.
Dalam krisis, kelelahan rohani dan keterasingan akibat COVID-19, kehadiran sosok de Mello dengan ajaran dan permenungannya sangat membantu. Ia mengajarkan kita “jalan kembali” kepada Tuhan.
Dalam bukunya “Jalan Menuju Tuhan”, de Mello menawarkan enam langkah untuk kembali bersekutu dengan Tuhan, yaitu hening, damai, sukacita, hidup, kemerdekaan, dan cinta. Dalam buku itu, de Mello mendeskripsikan arti dan cara mempraktekkan setiap langkah seperti melalui meditasi, berdoa, membaca Alkitab. Cara yang disampaikan sangat mudah dipraktekkan dalam kehidupan.
Anthony mendefinisikan hening sebagai melampaui kata-kata dan pikiran. Untuk mencapai keheningan ini, ada tiga tahap yaitu mengerti, awas siap-siap (karena mungkin memunculkan anggapan tidak masuk akal, mustahil) dan tahap terakhir yaitu adalah mendalami Kitab Suci karena kitab suci sangatlah luar biasa.
Damai berarti terjauhkan dari kehancuran yang dari pertengkaran atau perkelahian, musuh dari perdamaian adalah egois dan kerasnya hati.
Sukacita sangat berkaitan erat dengan kedamaian dan hidup berarti adalah menjadi dirimu dalam arti bahwa kamu adalah kamu.
Kemerdekaan yaitu terbebas dari pengalaman buruk dan bangkit kembali dan yang terakhir yang paling sulit untuk ditemukan tetapi menguntungkan yaitu Cinta.
Cinta memiliki arti yang sangat luas, hampir seperti Tuhan sendiri dalam kekuasaan dan misterinya.
Enam tahap tersebut dapat kita praktekkan dalam kehidupan untuk menumbuhkan kembali iman kita yang semakin memudar, terutama di tengah permasalahan dunia seperti pandemi COVID-19 ini.
Jangan panik
Kepanikan boleh jadi akan membingkai kondisi batin setiap orang akibat pandemi yang semakin tinggi tingkat penyebarannya ini. Tak terlihat dan gampang menular, virus corona mudah masuk dalam tubuh kita. Itulah yang membuat kita cepat panik dan takut. Tapi harus diingat bahwa kepanikan dan ketakutan dalam diri manusia ini justru bisa membawa mereka ke dalam permasalahan lainnya dikarena ketakutan dan kepanikan yang berlebihan.
Dalam “Doa Sang Katak 2”, Anthony de Mello melukiskan hal ini.
Mau ke mana, Kau, Wabah?” tanya Si Kafilah.
“Mau ke Damaskus, mau merenggut 1.000 nyawa,” jawab Wabah tanpa keraguan.
Sekembalinya dari Damaskus, Wabah bertemu lagi dengan Kafilah.
Si Kafilah spontan protes, “Hai, Wabah, Kau merenggut 50.000 nyawa, bukan 1.000 seperti katamu.”
“Tidak,” ujar Wabah,
“Aku betul-betul hanya mengambil 1.000 nyawa, sisanya mati karena ketakutan.”
Penggalan cerita ini menunjukkan bahwa kepanikan dan ketakutan yang berlebih dalam menghadapi sebuah permasalahan terutama pandemi saat ini tidaklah ada gunanya. Sebaliknya justru dapat menambah beban dan memperburuk kondisi.
Jangan biarkan diri sendiri “mati” karena kepanikan dan ketakutan itu sendiri. Tetaplah percaya dan tenang. Ingat, selagi masih mengikuti protokol kesehatan dan aturan, tak ada potensi tertular.
Yang terpenting adalah tetap percaya kepada Sang Pencipta. Peristiwa atau kondisi yang dihadapi saat ini tidak bertujuan untuk membuat kita menderita tapi sebagai peringatan untuk menata langkah hidup dengan lebih baik. Di balik setiap peristiwa, termasuk yang tak menyenangkan, niscaya terdapat banyak nilai dan bahan pembelajaran bagi kehidupan.
Anthony mengajak mengingatkan kita bahwa iman yang tidak dikembangkan semakin lama akan semakin mati dan pudar.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Anthony ini tentunya dapat kita jadikan sebagai pedoman dan acuan dalam membangun spiritualitas kita terutama dalam menghadapi kondisi dunia yang sangat penuh dengan konflik dan permasalahan dunia terutama pandemi saat ini.
Namun dari semua itu yang paling penting adalah kesadaran diri dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta kita. Kita semua adalah ciptaan Allah yang memiliki keterbatasan namun memiliki keinginan yang besar untuk menguasai seluruh isi dunia ini yang justru membawa manusia jatuh dalam dunia kegelapan.
Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa segala yang ada di dunia ini terjadi karena diadakan oleh Sang Pencipta yaitu Allah. Kita harus percaya bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti telah direncanakan dan bukan tanpa alasan. Selalu ada makna di balik itu semua dan pasti ada banyak pembelajaran di balik semua peristiwa ini. Semua kesulitan yang dialami tentu merupakan peringatan agar manusia tak tenggelam dalam aktivitas duniawinya hingga lupa untuk mengembangkan kehidupan rohaninya.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah termasuk hidup yang kita miliki. Apa yang kita miliki saat ini tentunya merupakan anugerah dari Allah dan kita harus bersyukur akan hal itu.

Kita diciptakan bukan untuk menguasai dunia melainkan untuk melestarikan dan melindungi dunia dari kehancuran.
Pandemi yang terjadi saat ini dapat kita maknai sebagai peringatan bahwa selama ini manusia terlalu serakah akan kekuasaan dan terfokus pada kepentingan duniawi hingga lupa akan Pencipta-Nya.
Kita manusia hanya dapat berpasrah. Tapi itu tak berarti tanpa usaha. Berusalah untuk melakukan sesuatu yang baik bagi diri sendiri dan sesama dan sisanya kita serahkan kepada Tuhan yang mengatur dan menentukan jalan kita ke depan. Ingat, apa yang direncanakan Tuhan pasti indah pada akhirnya.
“The greatest learning of the ages lies in accepting life exactly as it comes to us.”
― Anthony de Mello.
Penulis: Felicia Angela Prasetyo, Mahasiswi Semester 1 Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya