Menyiasati Bahaya Penggunaan Gadget Berlebihan

KITAKATOLIK.COM—Hampir semua orang Indonesia akrab dengan gadget atau gawai. Perangkat elektronik untuk keperluan praktis seperti HP, televisi dan sebagainya itu sungguh mempermudah kehidupan. Sayangnya, penggunaannya sering berlebihan.

Susana Ari H.Wibowo, praktisi dan pemerhati pendidikan anak,  mengutarakan beberapa laporan penelitian yang menunjukkan tingkat pemakaian gadget yang berlebihan dan sangat menyita waktu. Anak usia 0 sampai 2 tahun, biasanya menggunakan 2 jam sehari bermain gadged, 3-4 tahun bermain 3 jam. Usia 5-7 tahun menghabiskan 4-5 jam, usia 8-11 tahun  6-7 jam. Sementara sekitar 15-17 jam digunakan remaja usia 12-15 tahun untuk bermain gadget.

“Jadi anak remaja biasanya menggunakan lebih dari separuh waktunya menggunakan gadget, atau bermain media sosial seperti televisi,” katanya.

Sayangnya, kuantitas waktu yang  digunakan, tidak dibarengi dengan kesiapan mental dan kematangan. Dan ini menyimpan bahaya bagi mereka.

Anak-anak misalnya, belum bisa membedakan  antara fantasi dan realitas. Kehadiran gadget banyak memberikan fantasi bagi anak-anak yang mereka terima sebagai realitas.

“Seorang anak di Semarang yang begitu mengidolakan tokoh superman. Pada hari ulang tahunnya sang Bunda membelikan satu set baju tokoh superman. Naas, fantasi si anak tentang Superman telah membuatnya nekat ‘terbang bebas’ dari ketinggian karena menganggap bahwa dengan memakai baju seperti tokoh idolanya, dia akan mampu terbang,” terang Ari, sapaan akrabnya.

Ada juga bahaya lain yang mengintip kebiasaan pemakaian gadget yang belebihan, yaitu bahaya kecanduan.

“Saat  seseorang sangat menikmati gadget atau menikmati screen time secara rutin, muncul zat dophamine yang merupakan neurofransmitter di otak yang akan muncul saat ada kenikmatan pada hal tertentu. Secara manusiawi, seorang anak belum mampu mengendalikan diri dan tentu akan memilih menikmati sesuatu secara terus-menerus,” jalas Ari.

Kondisi nikmat yang konstan ini, lanjut Ari,  akan membuat produksi dophamine meningkat dan beresiko pada bahaya kecanduan.

Fakta lain menunjukkan adanya  efek nyata dalam dunia pendidikan pada anak-anak yang sudah terpapar dengan hadirnya gadget. Antara lain, turunnya minat baca dan belajar, lemahnya koordinasi tangan dan mata, konsentrasi yang pendek, serta  kreativitas tidak terbangun.

Keseringan pemakaian gadget, kata Ari, bisa memengaruhi kesehatan, antara lain mata lelah, tidur terganggu dan obesitas. Secara sosial, anak yang keseringan bermain gadget memiliki daya juang yang rendah, kemampuan berkomunikasi yang lemah, terutama komunikasi verbal.

“Mereka juga memiliki emosi yang tak terkendali dan beberapa perilaku yang secara sosial menyimpang,” kata Ari.

Dengan latar bahaya seperti ini, Ari memberikan beberapa tips praktis menyiasati bahaya penggunaan gadget berlebihan yang disingkat dengan singkatan “bijak gadget”. Apa saja itu?

Pertama, batasi gadget. Kedua,  investasi waktu bersama keluarga sebagai waktu yang paling berharga. Berikutnya, jadikanlah diri sendiri (sebagai orangtua) sebagai teladan bagi anak. Keempat, tentukanlah area bebas gadget harus diterapkan dalam keluarga. Berikutnya adalah buat kotrak kesepakatan bersama dalam menggunakan gadget (waktu, tempat dn tanggungjawab).

Tips keenam, ganti gadget dengan kegiatan permainan yang nyata (berenang, bersepeda dan menari). Ketujuh, alihkan target kegiatan agar anak tidak terus menerus bersama gadget.  Kedelapan,  dampingi anak saat menonton tv, mencari informasi di internet. Berikutnya adalah gali informasi terkini (misalnya tentang teknologi child lock pada internet). Kesembilan,   evaluasi rutin mengenai penggunaan gadget dan terakhir,  tanggungjawab bersama sekeluarga terhadap kebijakan penggunaan gadget.

Digital parenting                                                                                    

Dihadapkan dengan akibat negatif dari penggunaan gadget yang berlebihan, pakar dan praktisi Emotional Intelegent (EI) Anthony Dio Martin meminta para orangtua untuk menguasai keterampilan digital parenting yang merupakan pola pengasuhan orangtua yang disesuaikan dengan kebiasaan anak  dalam penggunaan gadget atau sarana digital.

“Orangtua harus berusaha untuk in line dengan dunia anak yang sangat on line. Agar ortangtua tetap mampu berkomunikasi dengan anak melalui cara yang dijalani anak,” katanya.

Salah satu caranya, orang tua juga harus punya account FB kemudian add friend dengan  account anak. Atau orangtua juga ikut bermain games bersama anak agar punya waktu bersama dengan anak.

“Walau komunikasi verbal harus terus diutamakan antara orangtua dan anak, namun orangtua harus juga memakai cara-cara dan kebiasaan sang  anak, karena tidak dapat dipungkiri di masa kini dunia anak adalah dunia digital,” katanya. (Admin/warna)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *