Moderasi Beragama dalam Perspektif Lima Tokoh Agama Besar di Indonesia

YOGYAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Para tokoh intelektual dari lima agama besar di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha  dan beberapa unsur lainnya, terlibat dalam penyusunan buku “Moderasi Beragama Perspektif Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha” yang digelar di Yogyakarta, 21 hingga 23 November 2022.

Pada Selasa (22/11/2022), kelima tokoh tersebut menyampaikan perspektif mereka. Mewakili intelektual Islam, Prof. Dr. Phil  Al Makin, S.Ag., M.A. menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang yang moderat, toleran dan berpaham kebhinekaan, dibutuhkan keinginan kuat untuk terus belajar, memiliki kelapangan dada dan kerendahan hati.

Menurut Al Makin,  modereasi beragama hanya bisa diukur jika kita menghargai kelompok lain, berani bersahabat dengan kelompok lain dan persahabatan itu harus tulus.

“Saya usul dalam buku Moderasi Beragama ini harus ada bab yang berbicara khusus tentang persahabatan,” ungkap rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini seperti dilaporkan humas Dirjen Bimas Katolik, Kementrian Agama Republik Indonesia.

Di tataran praksis

Menurut Prof. Dr. Antonius Eddy Kristiyanto, OFM yang mewakili Katolik, titik tolak moderasi beragama haruslah lebih berfokus pada praktek, bukan melulu teori. Bukan pada pilihan ortodoksi atau pengajaran,  tetapi ortopraksi. Praksis memperjuangkan kebaikan, perdamaian, mempersatukan, menyejukkan, membebaskan, mematangkan serta mendewasakan.

“Kalau ada  praksis diskriminasi, persekusi, penistaan berdasarkan agama itu terutama pada akar kemanusiaan yang keropos dan lapuk. Sebab kelemahan akut kita semua terutama bukan pada (kekurangan) ajaran, dan doktrin, melainkan terutama pada (menipisnya) pelaksanaan dan tindakan konkret untuk mencapai bonum commune (kesejahteraan dan kebaikan umum),” kata Ketua Program Studi Ilmu Teologi STF Driyarkara Jakarta ini.

Dia menegaskan pula bahwa menjadi Katolik itu berarti berupaya menjadi suci atau kudus dengan melayani sesama dan mengupayakan keutuhan ciptaan-Nya.

“Menjadi Indonesia itu berarti berbelarasa (memiliki dan mewujudkan “compassion”), peduli, dan terlibat dalam kondisi nyata,” katanya.

Sementara dalam perspektif Kristen, Pdt. Dr. Tony Tampake menegaskan bahwa keanekaragaman (pluralitas) merupakan karunia Tuhan yang patut disyukuri.

Para tokoh agama, tim penyusun buku “Moderasi Beragama Perspektif Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha”

“Kemajemukan hendaknya menjadi jalan bagi agama-agama menemukan panggilan dasarnya, yakni memperjuangkan damai sejahtera Allah di dalam dunia,” kata Ketua Program Studi Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini.

Karena keyakinan itulah, masih kata dia,  maka sekalipun akhir-akhir ini ketegangan hubungan antaragama, Gereja tetap mengulurkan tangan, mendorong dialog, dan mengundang semua komunitas agama/kepercayaan serta semua orang yang berkehendak baik guna bekerja sama menjawab panggilan bersama dalam persahabatan penuh cinta.

Satu keluarga

Dalam perspektif Hindu, Ketua Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten, Putu Budiadnya, S.Ag., M.Pd.H.  menjelaskan bahwa semua manusia bersaudara. Seluruh umat di dunia ini adalah keluarga.

“Ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama,” kata Ketua Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten ini mengungkapkan ajaran Tat Twam Asi.

“Menolong orang lain sama dengan menolong diri sendiri. Menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Berbuatlah kebaikan kepada orang lain, seperti yang engkau inginkan mereka perbuat bagi dirimu. Perlakukanlah setiap orang sebagai sahabat karibmu. Saling menyayangi serta mencintai satu sama lain tanpa membeda-bedakan.”

Sementara Dr. Mujiyanto, S. Ag., M. Pd.  Dari Budha menyebut tiga tiang utama yang sejajar dengan prinsip moderasi beragama.

“Ada Kalama Sutta Buddha (memberikan kebebasan penuh untuk memilih dan mengajarkan cara yang baik agar menerima suatu agama secara rasional), Metta (cinta kasih universal), Karuna (kasih sayang),” kata Wakil Ketua Bidang Akademik Sekolah Tinggi Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri ini. (Admin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *