Pastor Lukas Sulaeman, OSC, Dipanggil Sebelum Menjadi Katolik

TANGERANG,KITAKATOLIK.COM—Hampir setiap hari Minggu, setelah pulang gereja, Yo Soen Ley mengajak adik-adiknya berkumpul di ruangan loteng rumahnya. Di ruangan berukuran 3 X 4 meter yang juga merupakan kamar tidur merangkap belajar mereka itu, ia membuat “misa” keluarga.

Ia mengenakan jubah yang dibuat dari handuk yang sudah bolong di tengahnya. Altarnya hanyalah sebuah meja kecil tanpa lilin dan salib. Gelas dan mangkok dipakai sebagai ganti piala dan sibori. Anggurnya diganti teh dan hostinya pakai kue manis yang menyerupai hosti berwarna merah. Adik-adiknya berperan sebagai umat.

“Barangkali benih panggilan untuk menjadi imam sudah tumbuh kala itu,” kata Yo Soen Ley. Padahal saat itu, anak kedua dari tujuh bersaudara ini belum menjadi Katolik. Hanya dia bersekolah di TK dan SD Katolik Yos Sudarso, Subang, Jawa Barat. Dan setiap minggu, pria kelahiran 2 November 1960 ini diajak tantenya untuk ikut misa di sekolah karena di tempat itu belum ada gereja.

“Saya tertarik dengan sosok pastor yang setiap minggu datang dengan skuternya. Pulang misa, ya kita buat ‘misa’ di loteng,” cerita Yo Soen Ley, yang baru dibabtis pada 15 April 1979 dan berganti nama menjadi Lukas Sulaeman ini.

Pudar lalu kembali kuat

Bayangannya untuk menjadi imam sempat pudar ketika pada kelas 4 ia pindah ke sekolah Dasar Negeri Kepala Kembar, Subang. Di sana, tidak ada pelajaran agama Katolik. Yang ada hanya pelajaran agama Islam. “Rasanya ke gereja pun menjadi tidak rajin lagi. Hilang juga figure imam yang diimpikan. Rasa ‘kekatolikan’ sepertinya menjadi luntur. Bahkan saya dengan mudah bisa menghafal doa-doa yang islami,” kara Pastor Lukas.

Pastor Lukas Sulaeman, OSC dalam sebuah acara di Paroki Curug, Santa Helena, Tangerang.

Di SMP PGRI Subang, ia sibuk dengan urusan sepakbola dan masuk dalam tim sepakbola Kabupaten Subang dalam kejuaraan Suratin Cup tingkat yunior. Melalui tim sepakbola itu, ia mendapatkan kesempatan untuk pergi ke beberapa kota di Jawa Barat. Karena ayahnya ingin agar ada anaknya yang melanjutkan usaha dagangnya, Lukas lalu dimasukkan ke SMEA Negeri 12 Subang. Di situ, Lukas mengaku makin tergila-gila dengan sepakbola.

Tapi menginjak kelas 2 SMEA, Lukas bersama kakak dan beberapa temannya dipanggil oleh pastor Edwin Latumenten OSC yang saat itu berkarya di Subang untuk membina anak-anak SMP Yos Sudarso dalam bidang kepramukaan dan kerohanian. Nah, meski belum dibabtis, ia kembali membantu kegiatan di gereja, seperti mengajar Bina Iman, mengajar Pramuka Katolik untuk anak-anak remaja gereja, ikut dalam Perkumpulan Remaja Katolik Subang dan bergabung dengan MUDIKA. Juga aktif berkunjung ke beberapa stasi. Melalui berbagai keterlibatan itu, Lukas mengaku menemukan kembali “kekatolikannya”. Dan yang terpenting, ia kembali ingat akan cita-cita awalnya untuk menjadi imam.

Tahun 1979, selesai SMEA, Lukas melamar masuk Tarekat OSC (Ordo Sanctae Crucis – Ordo Salib Suci), tapi ia ditolak. “Pastor Yan Sunyata OSC yang saat itu Provinsial OSC bilang bahwa saya babtisan baru dan masih terlalu muda. Pastor menyarankan untuk mencari pengalaman dulu atau bekerja selama 2 atau 3 tahun,” kata penggemar olahraga jalan kaki ini.

Meski agak kecewa, dia mengikuti anjuran pastor Yan. Selama dua tahun ia berturut-turut bekerja di toko emas “Kupu-Kupu” dan toko onderdil mobil dan motor “Mulus” di Subang. Setiap Jumad, ia menyembatkan diri ikut kursur Kateketik. Setelah mendapatkan restu dari Lucia, pacarnya sejak SMEA dan aktif di MUDIKA, Lukas menemui Pastor Sommers OSC, Pastor Paroki di Subang dan mendapatkan rekomendasi untuk masuk ke OSC. Ia ikut test, lulus dan masuk Noviciat OSC pada Juli 1982.

Dari Sirombu sampai Helena

Pastor Lukas mengaku, masa noviciat, skolastik dan teologan adalah masa yang penuh berkat dan harus disyukuri. Dia tidak mendapatkan kesulitan yang serius.

“Hasil studi saya memang tidak istimewa. Tetapi dibanding teman-teman lain, nilai saya bagus,” kata penggemar makanan yang dibuat dari bahan dasar ikan mas ini.

Sebelum ditahbiskan, bersama Pastor Mathias Kuppens dan Pastor Johan Sugianta, Frater Lukas berkarya di Pulau Nias, Sumatera Utara. Ketiganya ditunjuk untuk menjadi perintis karya OSC di pulau tersebut, tepatnya di Paroki Sirombu. Sebelum terjun ke Paroki yang ditunjuk, mereka belajar bahasa Nias di Paroki Santo Petrus dan Paulus, Idanogawo, Gunungsitoli.

“Pengalaman di Nias sungguh menempa saya menjadi imam yang kuat. Dari stasi ke stasi, kita berjalan kaki, dan makan apa adanya. Jalur perjalanan sebagian besar memang jalan setapak, yang tak memungkinkan dilalui kendaraan bermotor. Disanjung atau dihormati itu tidak mungkin. Tidak juga mengharapkan pemberian dari umat. Nah, itu menjadi bekal dalam perjalanan imamat saya selanjutnya,” kenangnya.

Tanggal 21 April 1990, penulis banyak puisi ini menerima tahbisan Diakonat di Katedral Sibolga oleh Uskup Sibolga Mgr. Anicentus B. Sinaga, OFM Cap. Dan beberapa bulan kemudian, ditahbiskan imamat pada tanggal 7 Desember 1990 oleh Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr., di Paroki Santo Paulus, Moh Toha, Bandung dengan motto imamat: Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Aku yang memilih kamu! Setelah ditahbiskan imam, Pastor Lukas kembali bertugas di Sirombu.

Tenggelam dan meninggalnya Fr Dicky OSC sungguh meninggalkan trauma yang mendalam dalam diri Pastor Lukas. “Dia adik kelas saya dua tahun. Selama di Nias, dia sering bersama saya mengunjungi stasi-stasi,” kata Pastor Lukas. Frater Dicky saat itu sedang menjalankan praktek diakonatnya. Sedianya, setelah tahbisan, sang frater akan dikirim ke luar negeri untuk studi liturgi. Janazahnya baru ditemukan 38 jam setelah tenggelam.

Batin Pastor Lukas sedikit tergoncang. Wajah frater Dicky yang ditemukan dalam kondisi membengkak setelah terhanyut beberapa hari di pantai selalu mengikutinya. Untuk kembali melayani di Nias, ia membutuhkan kesiapan batin. Karena itu, sejak Pebruari 1992-Februari 1993, ia menetap di Pratista sambil mendampingi para novisiat OSC.

Februari 1993, Pastor Lukas kembali melayani di Paroki Kristus Raja Cigugur yang terletak di lembah gunung Ceremai. Lau, di tahun 1996, penggemar treveling ini berkarya di rumah pendidikan imam sebagai socius dan kemudian magister bagi para Frater OSC. Setelah berkarya di beberapa Paroki lainnya, pada awal 2016, mantan dosen Etika ini akhirnya ditempatkan di Paroki Santa Helena. (pamago/warna)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *