VATIKAN,KITAKATOLIK.COM—Paus Fransiskus meminta umat Katolik untuk melawan toksisitas atau racun di media sosial dengan melibatkan diri dalam dialog dan pendidikan untuk mengatasi kebohongan dan penyebaran informasi yang salah.
Hal itu disampaikan Paus Fransiskus dalam sebuah pesan yang diterbitkan oleh Takhta Suci pada Senin, 18 Juli 2022. Pesan itu ditujukan kepada para peserta Kongres Dunia SIGNIS 2022 di Seoul, Korea Selatan.
Acara ini diadakan setiap empat tahun sekali, dan Kongres 2022 mengangkat tema “Perdamaian di Dunia Digital” baik di situs maupun secara digital mulai 16-19 Agustus yang akan datang.
Untuk diketahui, SIGNIS adalah Asosiasi Katolik Dunia untuk Komunikasi, sebuah organisasi yang misinya adalah untuk “membantu mengubah budaya dalam terang Injil dengan mempromosikan martabat manusia, keadilan dan rekonsiliasii.
“Penggunaan media digital, khususnya media sosial, telah memunculkan sejumlah masalah etika serius yang membutuhkan penilaian yang bijak dan cerdas dari pihak komunikator dan semua yang peduli dengan otentisitas dan kualitas hubungan antar manusia,” tulis Paus dalam pesannya tersebut.
“Terkadang dan di beberapa tempat, situs media telah menjadi tempat racun, ujaran kebencian, dan berita palsu,” tambahnya. Ia meminta dan mendorong para komunikator Katolik untuk bertekun dalam melawan racun yang ada di media sosial tersebut.
“Bantulah orang, terutama kaum muda, untuk mengembangkan rasa kritis yang sehat, belajar membedakan kebenaran dari kepalsuan, benar dari salah, baik dari jahat, dan untuk menghargai pentingnya bekerja untuk keadilan, kerukunan sosial, dan menghormati rumah kita bersama,” tegas Paus asal Argentian tersebut.
Terkait tempat penyelenggaraan Kongres Dunia SIGNIS 2022 yaitu di Seoul, Korea Selatan, di akhir pesannya, Paus Fransiskus berdoa agar “kisah Santo Andreas Kim dan rekan-rekannya dua ratus tahun yang lalu meneguhkan para peserta rapat tersebut dalam upaya menyebarkan Injil Yesus Kristus dalam bahasa media komunikasi kontemporer.
Santo Andreas Kim adalah imam Katolik keturunan Korea pertama. Ayahnya terlahir di tengah keluarga terpandang masyarakat Korea saat itu (yangban). Ketika berubah memeluk agama Katolik, ayah Andreas Kim dihukum mati karena menjadi Kristiani – suatu tindakan terlarang di Korea yang sangat kental Konfusianisme-nya saat itu.
Andreas Kim Taegon sendiri belajar di sebuah seminari di Makau dan ditahbiskan menjadi seorang imam di Shanghai. Ia kemudian kembali ke Korea untuk berkhotbah dan menyebarkan Injil.
Selama masa Dinasti Joseon, agama Kristiani ditindas keras dan banyak umat Kristiani yang disiksa dan dibunuh. Umat Katolik harus secara tertutup mempraktikkan iman mereka. Kim Taegon adalah salah satu dari beberapa ribu umat Kristiani yang dihukum mati selama masa ini.
Pada tahun 1846, dalam usia 25 tahun, ia disiksa dan dihukum pancung. Pada tanggal 6 Mei 1984, Paus Yohanes Paulus II mengkanonisasi Andreas Kim Taegon bersama dengan 102 orang martir Korea lainnya, termasuk diantaranya Paulus Chong Hasang. Setiap tanggal 20 September, gereja merayakan penghormatan kepadanya. (Admin/dbs).