SLOVAKIA,KITAKATOLIK.COM—Salib ada di sekitar kita. Ia tergantung di leher, dalam mobil, di dalam saku celana maupun baju. Dan menurut Paus Fransiskus, keberadaan salib di mana-mana itu, bakal tak berfaedah bila kita berhenti untuk melihat Yesus yang disalibkan dan membuka hati kita kepada-Nya.
“Salib menjadi berarti bila kita membiarkan diri kita sendiri dilukai oleh luka-luka yang ditanggungNya demi kita. Salib berarti dan bermakna ketika kita menangis di hadapan Tuhan yang terluka karena kita,” kata Paus Fransiskus saat memimpin Liturgi Kudus dalam ritus Byzantin memperingati pesta Santo Yohanes Krisostomus di Presov, Slovakia, Selasa (14/9/2021) seperti dilaporkan Courtney Mares dari Catholic News Agency.
Dalam kotbahnya, Paus menjelaskan alasan Yesus mati di Salib. Sebenarnya, kata Paus, Yesus bisa menghindari kesengsaraan dan kebrutalan sejarah manusia. Tapi Ia memilih untuk masuk dan membenamkan diriNya dalam sejarah. Dan Ia memilih jalan yang paling sulit, yaitu jalan salib.
“Tuhan datang ke tempat yang kita pikir Ia tidak bisa hadir. Ia datang untuk menyelamatkan mereka yang putus asa, Ia memilih untuk merasakan keputusasaan dan menanggung penderitaan kita yang paling pahit,” kata Paus.
Salib, lanjut Paus, merupakan alat kematian, tapi menjadi sumber kehidupan. Salib merupakan sesuatu yang mengerikan, namun mengungkapkan keindahan kasih Tuhan. “Kita bisa saja menolak gambaranTuhan yang lemah dan tersalib, dan lebih memilih untuk memimpikan Tuhan yang berkuasa dan menang. Ini adalah godaan besar,” kata Paus Fransiskus sambil menambahkan bahwa kita sering merindukan kekristenan pemenang, yang penting dan berpengaruh, yang menerima kemuliaan dan kehormatan.
“Namun kekristenan tanpa salib adalah kekristenan duniawi, dan menunjukkan dirinya kosong dan tak bermakna,” kata Paus dalam pesta Salib Suci tersebut. Pesta Salib Suci dimulai pada abad ke-4, saat pentahbisan Gereja Makam Suci yang berlangsung pada 13 September 335 di lokasi penyaliban Kristus di Yerusalem. (Admin).