Pergumulan dan Jurus Pastor Endi Memenangkan Hati Umatnya

SINTANG,KITAKATOLIK.COM—Terhitung sejak 1992, sudah 32 tahun lebih Romo Elias Silvinus  Endi berkarya sebagai imam di Keuskupan Sintang. Dan bila dihitung sejak frater, maka sudah lebih dari 36 tahun dia di sana.

Sejak awal, ia mencoba menghayati nasihat yang disampaikan pastor Rene Colin OMI, imam senior yang menemaninya di tahun pertamanya sebagai imam di Keuskupan Sintang.

“Kalau kamu ke kampung-kampung, ingat, kamu hadir untuk mereka. Berilah seluruh dirimu, seluruh waktumu untuk mereka. Biarlah kamu yang diatur oleh mereka untuk sembahyang,” nasihat misionaris asal Prancis ini pada romo Endi.

Ya, mengikuti irama umat menjadi salah satu jurus pelayanannya. Jadual pelayanan, entah ibadah maupun misa, diatur oleh ritme kehidupan umat yang kebanyakan petani.

“Kita ketemu mereka pada sore hari, setelah pulang dari ladang. Kadang misa di pondok ladang. Pada musim berladang terutama, kita pasti hanya ketemu mereka di waktu malam, karena pagi hari mereka di ladang. Maka kita akan mulai katekese dengan minum tuak terlebih dahulu,” katanya.

Mayoritas umat berasal dari suku Dayak yang sangat terbuka dan tinggi hospitalitasnya. Mereka sangat menghargai orang yang datang, selalu memberi yang terbaik untuk orang yang datang. Mereka misalnya bisa menyerahkan Kasur dan kamar tidurnya untuk tamu.

BACA JUGA: Tak Hanya Diracun dan Ditombak, Romo Dr. Elias Silvinus Endi Lic.Theol Juga Pernah Pimpin Lima Paroki Sekaligus kitakatolik.com/tak-hanya-diracu…paroki-sekaligus/

Menurut pastor Endi, metode pastoral yang bagus adalah menyatu dengan umat. Apalagi masyarakat Dayak tak pernah dijajah dan tak mengenal penjajah. Jadi mereka sangat mengedepankan persaudaraan. Terekspresi juga dalam gereja. Antara Uskup, Imam dan Umat tak berjarak. Egalitarialisme sangat kental.

Mencintai Dayak

Pastor kelahiran Flores ini mengakui kulitnya memangnya hitam, beda dengan kulit masyarakat Dayak yang putih. Meski beda kulit, ia mengaku sangat mencintai umatnya dengan segala kesederhanaan dan keramahan mereka.

Rasa cinta pada masyarakat Dayak itu sempat membuatnya ditahan, diinterogasi dan diintimidasi oleh pihak keamanan.

Bersama rekan pelayanan di SEKAMI, Bu Ari dan suami.

Tahun 1996, saat menjadi pastor Paroki  Keluarga Kudus, Bika Nasareth, ia menyaksikan ketidakadilan di depan matanya, dan itu membuat hatinya berontak. Banyak pejabat yang mengambil tanah rakyat tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan. Bupati dan  Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mematok empat-lima hektar sebagai miliknya dan untuk masyarakat setempat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah itu  hanya mendapatkan satu-dua hektar saja.

Ia bangkit melawan melalui pencerahan kepada masyarakat dan sekaligus membentuk lembaga-lembaga  yang bisa menolong dan membentengi masyarakat dari krisis keadilan itu.

Dianggap provokator, ia ditangkap dan diinterogasi oleh pihak keamanan. Jari kakinya sempat ditindih sepatu lars pihak keamanan. Mereka kira romo Endi hanyalah seorang guru agama asal Flores.

“Saya pasrah saja. Saya tidak memperkenalkan diri sebagai pastor,” kata romo Endi. Seorang pastor senior lalu mengontak Uskup Keuskupan Sintang saat itu, Mgr. Isak Doera Pr yang saat itu juga merupakan pastor tentara. Bapak Uskup langsung datang membebaskan dia.

Selain pematokan tanah tanpa prinsip keadilan, ia juga menyaksikan “marginalisasi” dalam bidang ekonomi bagi masyarakat setempat. Dulu masyarakat Dayak bergantung pada kekayaan alam yang memang berlimpah. Ada karet, kayu-kayu besar, kelapa sawit dan juga emas.Tapi alam telah dieksploitasi besar-besaran. Nadi perekonomian dikuasai oleh para pendatang.

“Penduduk asli terpinggirkan. Mereka pindah ke bagian belakang dan lebih ke pedalaman lagi, di bagian depan dijual kepada orang lain. Mereka sering menjual tanah untuk hidup,” ujar pastor Endi. Ditunjang lagi oleh pola hidup konsumtif, karena sudah dimanjakan alam, krisis ekonomi sering membayang.

Dalam kondisi demikian, gereja terus mendorong masyarakat memikirkan masa depan keluarganya dengan menginsiasi pendirian Credit Union di mana-mana. Mereka diajak menabung demi masa depan keluarga.

“Kita terus berusaha agar mereka tetap mempertahankan hak mereka. Darah saya memang Flores, tapi hati saya Dayak. Kesulitasn mereka adalah kesulitan saya, kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan saya juga,” katanya.

Begitu banyak tantangan dan kesulitan dihadapinya dengan berpegang pada motto tahbisannya: “Cinta akan rumahMu menghanguskan aku!” (Yohanes 2: 17).

Diperlengkapi 

Setelah berziarah bersama umat yang bermukim di hutan dan kebun-kebun, mengenal orang Dayak dengan sangat baik, di tahun 1997, ia pindah ke Paroki Katedral Sintang. Dan pada 1999, diutus belajar sosiologi di Filipina. Diperlengkapi untuk lebih “masuk” dan memahami masyarakat dan problema sosologisnya.

Setelah meraih gelar doktor sosiologi, dia kembali ke Sintang dan didapuk sebagai Sekretaris Keuskupan Sintang. Tiga tahun kemudian, kembali ditempatkan di Paroki dan menjalin kerjasama dengan banyak pihak untuk mengembangkan iman umat, terutama anak dan remaja. Banyak kelompok datang membantu pelayanannya, termasuk dari Serikat Kapausan dan Anak-anak Remaja Misioner (SEKAMI) yang merupakan suatu wadah berhimpunnya anak-anak dan remaja Katolik di seluruh dunia dalam menanam dan menumbuhkan iman akan Yesus Kristus.

Pada 2007, ia kembali ditugaskan belajar. Kali ini di Roma dalam bidang Hukum Gereja. Juga untuk membantu pelayananan gereja, terutama dalam bidang perkawinan. (Paul MG).

One Comment on “Pergumulan dan Jurus Pastor Endi Memenangkan Hati Umatnya”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *