Perjalanan Pastor SJ Pertama dari Indonesia Bagian Timur

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Sabtu (23/7/2022) menjadi hari istimewa bagi Romo Eduard Calistus Ratu Dopo SJ yang akrab disapa Romo Edu. Bertempat di Sporthall Colose Kanisius, Jakarta, ratusan umat merayakan HUT Imamat ke-30 dari pastor yang merupakan imam Ordo Jesuit pertama yang berasal dari wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT) ini.

Pastor pertama? Ya. Romo Edu memang merupakan religius Jesuit pertama dari sana, terutama dari NTT. Bisa dimaklumi karena bagi umat Katolik luar Jawa, termasuk di NTT dan sekitarnya, Ordo Serikat Jesus (SJ) merupakan serikat religius yang masih sangat asing. Tentangnya paling banter hanya bisa dibaca di Mingguan Katolik HIDUP.

Maklum, sampai tahun  1980-an, umat Katolik NTT  hanya dilayani oleh para pastor Projo, SVD atau juga C.SS.R  di daerah Sumba,  OFM di Wilayah Manggarai dan O Carm  di Paga, Mauloo, Sikka.  Meski menurut catatan sejarah, para imam Jesuit telah jauh lebih dulu melayani umat Katolik di daratan Flores, sebelum akhirnya mereka menyerahkan pelayanannya ke SVD.

Lantaran itu, tak heran bila sangat sedikit siswa Seminari Menengah di daerah sana yang berniat masuk ordo yang didirikan oleh Santo Ignatius Loyola itu.

Tapi pada tahun 1980, Edu yang saat itu duduk di kelas enam Seminari Menengah Santo Yohanes Berchmans, Toda Belu, Mataloko, Flores, memilih SJ.  Pilihannya ini berbeda dari teman-teman sekelasnya yang mayoritas memilih Projo dan SVD. Dan beberapa memilih masuk Ordo Karmelit.

Ia mengaku bila pilihan untuk SJ itu merupakan jawaban spontan yang dipicu oleh  pertanyaan  Suster Hildegard, FMM yang kebetulan sedang berkunjung ke seminari.

“Apakah Edu mau masuk SJ? ” tanya suster Hildegard yang spotan dijawab ya. “Saya mau asalkan saya dibantu dalam prosesnya,” katanya.

Jawaban spontan tersebut kemudian dikuatkan oleh refleksi susulan, terutama terkait kecocokan warna dan ciri khas ordo-ordo  dengan kharakter dan keinginannya.

“Mau ke Frasiskan, saya tidak punya gambaran. Projo? Ya,  ketemu kita-kita lagi karena banyak teman memilih projo. Kalau ke SVD, saya kurang terlalu tertarik dengan cara hidup biarawan yang ketat dengan aturan doa bersama. Saya lebih tertarik dengan cara hidup religius seperti Ordo Jesuit,” katanya.

BACA JUGA: Imamat Ke-30 Romo Eduard C. Ratu Dopo, SJ.: Merenung Bersama Gus Dur dan Amir Hamzah https://www.kitakatolik.com/imamat-ke-30-rom…-dan-amir-hamzah/

Dalam perjumpaannya dengan romo Helshoot, SJ, salah seorang imam pendidik ordo SJ yang kebetulan berkunjung ke Mataloko saat itu, Edu akhirnya tahu bahwa SJ bukanlah projo, juga bukan biarawan, tapi seorang  religius. Klop lah.

Saat dimintakan menuliskan motivasi menjadi Jesuit, Edu berhasil menjawab dengan sangat baik. Dan dipuji oleh Pater Helsloot SJ yang ketika itu mewawancarainya.  Kok bisa? Bukankah persentuhannya dengan SJ masih seujung kuku?

“Waktu liburan Desember 1980, ada beberapa pastor Jesuit  ditahbiskan dan kesaksian mereka dimuat di Majalah HIDUP. Di situ mereka bentangkan juga motivasi memilih SJ. Jadi saya ‘nyontek’ jawaban-jawaban mereka,” aku Edu.

Edu diterima dan di tahun 1981, ia masuk Novisiat SJ di Girisonta, Semarang. Sempat kecut juga  kalau-kalau hanya dia yang berasal dari luar Jawa. Teryata tidak ko. Di sana sudah ada tiga orang kakak tingkatnya dari NTT, termasuk Alexander Sony Keraf yang kemudian pernah menjabat Menteri Lingkungan Hidup di era Presiden Megawati.

Jadi buruh dan porter

Sebagai orang luar Jawa, Edu pun mulai belajar bahasa Jawa dan sedikit tata krama Jawa agar bisa “masuk” ke lingkungan yang baru, terutama saat harus melakukan kunjungan ke umat.

Perjumpaan dengan calon imam lain yang mayoritas berasal dari Jawa, tak terlampau susah. Selain karena sudah terbiasa menjalani hidup berasrama yang plural saat di Seminari Menengah, Edu  merasa nyaman karena kebijakan yang diambil para Pembina di novisiat Girisonta.

“Novisiat Jesuit itu bagus. Selain dari Mertoyudan, kan ada yang  dari tempat lain. Magister selalu  menekankan bahwa sekarang kita menjadi manusia  baru. Jadi jangan bawa  tradisi lama dari seminari-seminari sebelumnya ke novisiat. Jadi sepertinya  magister memperhatikan kita yang dari non Jawa. Dia sangat kondusif untuk kita masuk ke dalam,” cerita kelahiran Mataloko dan lama berdomisili di Bajawa, Flores, NTT ini.

Soal pelajaran, tidak ada masalah. Ia sudah terbiasa disiplin. Termasuk silentium saat memang harus memelihara ketenangan. Yang berbeda adalah ujian mental atau probasi yang  dilakukan dengan beberapa model dan metode.

Untuk melakukan latihan rohani Santo Ignatius Loyola yang digelar sebulan  misalnya, fisik para novis sungguh dipersiapkan. Caranya, ya dengan mendaki gunung, seperti gunung Merbabu dan Merapi.

Tahun pertama dilakukan pencobaan dalam. Selama dua-tiga minggu para novis yang terdiri dari tiga orang disuruh mengerjakan suatu proyek, seperti proyek renovasi rumah. Ketiganya disuruh merencanakan, menghitung biaya, mengerjakan proyek itu hingga tuntas. Seluruh proses kerja dengan semua kesulitiannya dilaporkan setiap hari.

“Kita dilatih untuk bekerjasama dan bertanggung jawab atas setiap proyek yang dipercayakan,” ujar Romo  Edu saat ditemui di  ruang kerjanya di Kolese Kanisius, Jakarta, Rabu (20/7/2022) silam.

Probasi keluar dilakukan dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan “kasar” dan penuh  tantangan.  Romo Edu pernah bekerja sebagai buruh atau porter di pelabuhan, setiap hari  memikul guni. Ia juga pernah jadi pengasuh di sebuah panti jompo. Pekerjaan kuli pun pernah dilakoni. Antara lain kuli pembangunan tempat berteduh untuk para gelandangan. Selain mandor, tak seorang lain pun yang tahu bila dia seorang frater.

“Ada beberapa kali probasi fisik yang kita tempuh. Itu karena spiritualitas kita adalah memadukan  aspek kontemplasi dan karya nyata. Bukan kontemplatif benar, tapi contemplatio in actione. Itu ‘kan gaya spiritual Santo Ignatius. Jadi kita tenggelam dalam aksi tapi juga perlu kemampuan kontemplasi. Kita berkontemplasi di dalam aksi,” jelasnya.

Dari kolese Santo Yosep Dili ke Kolese Kanisius Jakarta

 Setelah tamat novisiat, di tahun 1983, ia melanjutkan ke tingkat skolastik di STF  Driyarkara, Jakarta.  Ia tinggal di unit Kramat VII dan Kampung Ambon. Setelah tiga tahun belajar di kampus Rawasari, ia mengajar di Kolese Kanisius sebagai frater yang melaksanakan Tahun Orientasi Pastoral (TOP).

Tiga tahun di Kanisius, ia kemudian melanjutkan studi di Fakultas Teologi  Wedabhakti, Kentungan, Yogyakarta.

Tanggal 29 Juli 1992, ia ditahbiskan sebagai imam Jesuit dan tercatat sebagai imam Jesuit pertama asal Indonesia bagian Timur. Setelah ditahbiskan, romo Edu terus melanjutkan studi licenciat teologinya di Fakultas Teologi Wedabhakti.

Atas permintaan Uskup Timor Timur Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo, Ordo SJ lalu menugaskan Romo Edu sebagai direktur Kolese Santo Yoseph, Dili, Timor Timur. Sempat jedah  untuk tugas belajar dalam bidang Kurikulum dan Pengajaran di Boston College, Amerika  pada tahun 2001, romo Edu kembali ke Timor Timur hingga 2010. Lalu  kembali ke Jakarta dan dipercaya sebagai Kepala Sekolah SMP Kanisius dan kemudian SMA Kanisius, Jakarta. (pamago).

One Comment on “Perjalanan Pastor SJ Pertama dari Indonesia Bagian Timur”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *