DEPOK, KITAKATOLIK.COM—Muncul dan digelorakan kembali politik identitas, terkait Pesta Demokrasi 2019, ditengarai membahayakan idiologi bangsa yang akhir-akhir ini kian luntur maknanya.
Untuk menghindari pelunturan makna itu, segenap masyarakat Indonesia harus menyegarkan, mengenal dan memahami kembali makna idiologi bangsa itu. Kita juga dituntut untuk berkomunikasi dengan elemen masyarakat lain untuk menegaskan kembali consensus hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
“Yang harus kita lakukan adalah mengajak segenap masyarakat untuk menghayati kembali konsensus kehidupan bernegara sebagai jati diri bangsa sesuai dengan Pancasila, Pembukaan UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika,” ujar RD Rofinus Neto Wuli, S.Fil.Msi (Han).
Hal itu disampaikan Pastor Bantuan Militer dan Polri (Pasbanmilpol) Keuskupan Umat Katolik TNI-POLRI, ini dalam diskusi kebangsaan bertajuk “Demokrasi dan Konsensus Bersama dalam Negara”, di Gedung Pastoral Santo Yohanes Paulus II, Kota Depok, Minggu (11/11/2018) yang lalu.
Diskusi kebangsaan ini diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Kota Depok, Pemuda Katolik (PK), dan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) kota Depok dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 11 November 2018.
Menurut Ronny, keempat konsesus dasar itu memiliki fungsi fundamentalnya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Kepada para calon legislatif yang turut hadir dalam diskusi tersebut, imam asal Bajawa, Flores ini berharap agar mereka tetap memelihara jati diri bangsa, memelihara moralitas politik, memiliki integritas dalam pelayanan publik, demi terwujudnya kesejahteraan bersama (bonum commune).
“Yang paling penting, politik kebangsaan harus terus dipegang. Buka komunikasi yang baik dengan segala elemen kebangsaan, memberi diri secara total (melayani). Kita mesti 100 persen patriot Indonesia,” kata dosen Universitas Pertahanan ini.
Kesetaraan
Sebagai bangsa yang menganut paham Bhineka Tunggal Ika, V. Hargo Mandirahardjo, SH, M.Kn, menegaskan bahwa dalam demokrasi ala Indonesia, kesetaraan harus dikedepankan. Kategori mayoritas-minoritas, apalagi berdasar suku atau agama, tak boleh dijadikan acuan utama.
“Dalam nafas bhineka tunggal ika, pengambilan keputusan harus berdasarkan hasil musyawarah, bukan berdasar mayoritas atau minoritas. Esensi dari nilai demokrasi yang beradab adalah menjunjung tinggi nilai dengan cara-cara yang baik dan beradab, santun dan bijak,” kata Ketua Umum Presidium ISKA ini.
Staf Ahli DPD RI Bondan Wicaksono, SE, ME berharap agar kamum milinial juga diajak untuk turut berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Mulai dari keluarga, orang-orang muda harus diperkenalkan dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan dan wawasan Nusantara. Sehingga bila saatnya tiba, mereka bisa menjalankan tugas dan tanggungjawab sesuai konsensus kebangsaan dan nilai-nilai yang Katolik 100 % dan 100 % Indonesia,” ujar Bondan.
Sementara Veronica Wiwin Widarini, SE, Ketua Fraksi PDIP Kota Depok, mengajak kalangan legislatif untuk terus berusaha membina jati dirinya sebagai soso-sosok wakil rakyat yang memiliki sikap toleransi, humanis, saling menghargai, dan universal, sehingga bisa menjadi suri teladan bagi masyarakat luas.
Diskusi ditutup dengan penandatanganan komitmen bersama. Isi komitmen itu adalah menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. mempromosikan cinta, keadilan, kesetaraan, persaudaraan dan solidaritas di antara seluruh keluarga umat manusia dan melawan semua sistem sosial ekonomi dan politik yang tidak adil, menginjak harkat martabat manusia dan mengeksploitasi alam ciptaan secara tidak bijaksana dan berlebihan sesuai dengan semangat Injili.
Mereka juga sepakat untuk menolak dengan tegas munculnya politik indentitas, politik kebohongan, politik uang (transaksional), ujaran kebencian, terror dan mendukung suksesnya pelaksanaan Pemilu 2019. (Darius Leka)