Polo atau Suanggi dalam Pandangan Katolik

KITAKATOLIK.COM—Sebuah pertanyaan terlontar dari Ibu Aurelia Godja pada Sabtu (13/6/2020) yang lalu.  “Kenapa ada polo atau suanggi?” tanya perempuan asal Bajawa, Flores, ini di laman FB-nya.  Komentar bermunculan, ada yang sekedar berseloroh, tapi ada juga yang serius menjawab.

“Percaya tidak percaya, tapi itu memang ada,“ komentar Corry Foju Goda. “Tuhan menciptakan yang baik dan yang jahat,” tulis Yasinta Ita Maria. Yang lain berkomentar, “Karena belum ada atau percaya dokter dan para medis, jadi semua penyakit dianggap sebagai perbuatan kekuatan gelap atau jahat yang dalam istilah Bajawa disebut polo.”

BACA JUGA: ALAM GAIB DALAM PANDANGAN KATOLIK    http://www.kitakatolik.com/alam-gaib-dalam-kacamata-katolik/

Diskusi ringan tersebut mengantar  pada pengalaman di kampung-kampung dan pedesaan di Flores dan beberapa pulau lainnya. Di Flores, terutama di Ngada dan Ende, dikenal istilah polo. Sering juga disebut suanggi. Masyarat Maluku dan Papua juga mengenal istilah suanggi.

Memangsa manusia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suanggi berarti burung hantu, juga mengacu kepada roh jahat yang dipercaya selalu mengembara untuk memangsa manusia. Sementara Wikipedia Indonesia mencatat bahwa suanggi merupakan sejenis ilmu hitam dan juga menjadi sebutan bagi dukun atau orang yang menekuni ilmu hitam tersebut.

Ilmu hitam itu biasa digunakan untuk membunuh musuh atau orang yang tak disukai. Itulah yang membuat banyak orang takut pada suanggi atau polo.

Konon suanggi biasa melakukan aksinya pada malam hari. Ia nampak seperti bola api yang melayang-layang  di atas rumah sang korban.

“Dalam melakukan aksi pembunuhan, suanggi menggunakan mantra yang mengubah dirinya menjadi bayangan ke rumah korban. Setelah itu, dalam beberapa hari, kondisi korban akan sakit secara tidak wajar dan tidak mampu dideteksi oleh ilmu medis,” tulis Wikipedia.

Jiwa yang jahat

Meski telah berkurang pengaruhnya oleh kamajuan dunia kedokteran dan pandangan yang lebih rasional dan sekular, pengalaman dan keyakinan tentang adanya polo atau suanggi masih hidup di beberapa daerah. Keyakinan akan adanya suanggi atau polo dengan beragam manifestasinya ada juga dalam keyakinan tradisional masyarakat Ngada, Flores, NTT.

Menurut analisis antropologi metafisik dari tradisi lokal, demikian Dr. Yohanes Vianey Watu, M.Hum,  manusia terdiri  dari unsur roh (mae/pneuma/spiritus/spirit), jiwa (weki/psukhe/anima-us/psike) dan  tubuh (tebo/soma/corpus/body).

Dalam tradisi Bajawa “Weki” itu terdiri dari Waka (jiwa yang baik-positif)  dan Wera (jiwa yg jahat-negatif).

“Polo adalah manusia yang dominan memiliki ‘wera’. Materialisasi dari wera itulah yang disebut ‘polo’ yang pada moment tertentu ditampakkan dalam fenomena  ‘mata polo’ yang berwarna merah kebiruan yang menetes keluar dari eko meto (cakra dasar) dari tubuh seseorang. Biasanya terjadi  di wilayah pekuburan,” jelas Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang ini.

Pakar dan peneliti budaya Ngada ini menyebut  dua mekanisme seseorang menjadi polo ghero atau polo bapu. Pertama, polo genealogis atau polo yang berasal dari keturunan polo. Yang kedua, polo yang berasal dari  keterlibatan makan poro ze’e dari kelompok polo, baik secara sadar maupun tidak sadar akibat adanya ikatan tali perkawinan dan ikatan tali persahabatan.

“Polo bisa bertransfigurasi menjadi makhluk infrahuman seperti ular, kucing, musang dan beberapa jenis burung, seperti burung po, juga burung iki,” tambahnya.

Penyakit mematikan

Polo atau suanggi dianggap sebagai  pribadi yang dapat menjadi penyebab penyakit tertentu dan bisa mendatangkan kematian tubuh.

“Tubuh yang jadi korban kejahatan mereka itu dengan cara misterius dapat bertransfigurasi menjadi seekor hewan seperti kerbau, yang kemudian kelompok polo ini membunuhnya, memotong dagingnya dan dibagi-bagi untuk  jadi bahan santapan dalam bentuk ‘daging’,” kata Vianey sembari menambahkan bahwa   jenis  daging ini disebut poro ze’e atau poro ngata.

Dari sisi energi, masih menurut Vianey, polo membawa pancaran energi negatif dan melaluinya dapat melukai lapisan bioenergi manusia yang dalam tradisi Bajawa disebut “t’eka saro”.

Dr. Yohanes Vianey Watu, M.Hum

“Lokasi t’eka saro yang mengoyakkan lapisan energi itu pada umumnya di wilayah  “ulu wuwu/cakra mahkota di ubun-ubun”; buku mata/pada dahi hingga kedua alis mata/cakra ajna;  tengu/tengkuk, leher dan pangkal kepala bagian belakang/cakra wisudha). Juga di ngalu ate/tanjung-ulu hati; dan kemo kele” wilayah di bawah ketiak yang merusak cakra jantung dan cakra solar,” urainya.

Lalu bagaimana cara “melawan” energi negatif tersebut. Bertolak dari kenyataan bahwa bawaan energi negatif mereka bersifat “panas” maka harus dijinakkan dengan  energi yang “dingin”.

“Tumbuhan yang berenergi ‘dingin’ seperti damar,  marungge, dan semua jenis tumbuhan seperti lidah buaya/mertua, paku-pakuan dan masih banyak jenis tumbuhan lainnya dapat menjadi  penangkalnya yang efektif. Kekuatan negatif itu dapat disingkirkan dengan  tuturan Kitab Suci dan Pata Dela yang  performatif,” urainya.

Agen iblis

Lalu bagaimana fenomena polo atau suanggi itu dilihat dalam perspektif kristiani? Masih menurut Dr. Vianey, menurut tinjauan anthropolgi metafisika Kitab Suci, manusia itu terdisi dari roh (mae), jiwa (weki) dan tubuh (tebo).

Hal itu bisa dilihat dalam Surat Paulus kepada umat di Tesalonika. “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (I Tesalonika 5:23).

Bertolak  dari anthropologi metafisika biblis tersebut, Vianey menjelaskan bahwa polo merupakan agen roh jahat atau iblis yang bekerja melalui materialisasi kejiwaan yang jahat atau negatif.

“Kejiwaan atau psukhe yang jahat terdiri dari pikiran yang negatif, perasaan yang negatif dan kehendak yang negatif,” katanya.

Tentang agen iblis, bisa dilihat dalam teks Injil Yohanes 8 ayat 44. “Iblislah yang menjadi bapakmu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapakmu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.”

Katekismus Gereja Katolik No. 2117 juga menegaskan bahwa magi atau sihir (mungkin termasuk polo atau suanggi) sangat melanggar keutamaan penyembahan kepada Allah.

“Semua praktek magi dan sihir, yang dengannya orang ingin menaklukkan kekuatan gaib, supaya kekuatan itu melayaninya dan supaya mendapatkan suatu kekuatan adikodrati atas orang lain – biarpun hanya untuk memberi kesehatan kepada mereka – sangat melanggar keutamaan penyembahan kepada Allah. Tindakan semacam itu harus dikecam dengan lebih sungguh lagi, kalau dibarengi dengan maksud untuk mencelakakan orang lain, atau kalau mereka coba untuk meminta bantuan roh jahat…” (pamago)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *