Bagaimana pengertian yang benar dari teks Kitab Suci tentang ”larangan” membuat patung itu. Berikut bincang-bincang dengan Prof. Dr. Martin Harun, OFM, doktor dalam ilmu Kitab Suci dari Jerusalem SBF ini dengan Kitakatolik.com.
Bagaimana eksegese dan latar belakang soal larangan membuat patung?
Larangan itu ada hubungannya dengan Kesepuluh Perintah Allah. Pertama dikatakan, tidak boleh ada ilah-ilah lain di hadapan-Ku. Jadi dalam Firman itu, Israel dilarang untuk menyembah ilah-ilah lain selain Allah. Kemudian dikatakan, supaya jangan membuat patung, dan yang dimaksudkan adalah patung Allah sendiri.
Mengapa Israel dilarang membuat patung Allah?
Dalam Ulangan 4, misalnya, dikatakan bahwa umat Israel tidak boleh membuat patung karena di Sinai mereka tidak melihat Allah, mereka hanya mendengar. Suara-Nya didengar tapi wajah-Nya tidak dilihat, sehingga manusia tidak akan tahu bagaimana harus membuat patung Allah.
Jadi itu suatu larangan yang ditaati oleh umat Israel umumnya. Tapi ada juga lambang lain yang mau menggambarkan Allah, tapi secara tidak langsung. Seperti peti perjanjian atau tabut perjanjan yang menunjuk pada tahta-Nya.
Ada orang yang mengatakan bahwa kalau diteliti baik-baik, Israel juga pernah membuat patung. Tapi dalam agama resmi, para nabi menentang pembuatan patung Allah karena kita tidak melihat-Nya.
Motivasi lainnya, mungkin juga dilarang karena bahaya manipulasi. Allah dimanipulasi melalui patung-Nya. Seolah-olah kalau patung kita bawa kemari maka Allah pasti hadir di sini. Kita seolah-olah membawa Allah ke tempat di mana Allah dibutuhkan.
Kalau patung pahlawan atau para kudus, misalnya?
Perintah pertama itu tidak melarang untuk kita membuat patung Soekarno, Fransiskus Asisi atau St. Petrus karena memang mereka bukan Allah. Yang dilarang dalam 10 Firman adalah patung Allah.
Itulah perbedaan antara Gereja Katolik dan Protestan atau reformasi. Gereja Katolik memang melarang patung Allah, tapi bukan patung manusia. Dalam tradisi Katolik selalu ada patung, dan paling-paling selalu diusahakan supaya dipakai dengan semestinya dan tidak berlebihan.
Patung tidak boleh dijadikan semacam berhala yang disembah. Patung hanya menjadi representasi seseorang yang mau diingat, yang memberi ilham. Seperti kita buat foto dari orang yang kita cintai dan kita bawa. Foto itu berarti karena menghadirkan orangnya.
Bila patung Allah tak boleh dibuat, lalu mengapa ada patung Yesus? Bukankah Yesus juga Allah?
Kalau kita bertolak dari pemahaman bahwa Kitab Ulangan melarang membuat patung karena umat Israel tidak pernah melihat Allah, saya kira tidak ada masalah dengan patung Yesus.
Sejak Yesus, memang kita bisa melihat Allah. Yesus merupakan suatu kehadiran Allah yang kelihatan di bumi ini. Dan kalau Allah mau memperlihatkan diri-Nya dalam Manusia ini, ya, saya kira menurut logika Kitab Ulangan, tidak salah. Yesus memang hidup, kelihatan di bumi, dan kalau kemudian orang membuat gambar, membuat patung Yesus di Salib dan lain-lainnya, saya kira tidak mengapa, karena memang Allah memperlihatkan diri-Nya di dalam Yesus ini.
Tapi orang memang harus menggunakannya dengan baik dan tidak salah. Kalau patung sudah menjadi maskot, itu memang sudah salah. Dan ingat, patung bukan untuk disembah, juga orang kudus jangan disembah, mereka itu dihormati dan dijadikan tokoh ilham.
Yesus memang kita sembah, tapi bukan patung-Nya. Patung-Nya menghadirkan-Nya, sama seperti Dia hadir melalui Injil melalui kisah-kisah, begitu juga Dia bisa hadir melalui visualisasi kisah itu.
Apakah kita tetap dilarang untuk membuat patung Allah Bapa? Bukankah Dia telah menempatkan diri-Nya dalam diri Kristus?
Kalau kita terima 10 Firman yang datang melalui Musa sebagai suatu kehendak Allah, dan sebagai kehendak Allah yang paling mendasar dan yang didukung oleh Yesus sebagai suatu pegangan, saya kira sebaiknya kita tidak usah membuatnya karena suatu resiko yang sangat besar kalau memang kita membuat patung Allah Bapa.
Ya, bahkan dalam bahasa juga kita memakai banyak gambaran. Kita pakai kata Bapa. Dalam imajinasi lepas dari gambar, lepas dari patung, sebenarnya kita sudah ada visualisasi imajiner. Tapi kita harus selalu berhati-hati dalam hal itu. Kita mengatakan Bapa, tapi juga bukan Bapa. Dia melampaui semuanya itu. Tidak ada sesuatu gambar yang cukup untuk mengungkapkan Dia.
Dalam teks lain, Allah justru menyuruh umat-Nya membuat patung, seperti patung kerub dan ular, misalnya?
Saya kira itu tidak dimaksudkan sebagai patung Allah. Dalam tradisi Timur Tengah, kerub itu sebenarnya adalah sandaran kursi atau tahta raja. Biasanya ada dua makluk di sandaran kursi dengan kepala manusia dengan kaki sapi atau sayap burung dan dia mendampingi raja di atas tahtanya. Kerub itu lambang tahta Allah dan tidak bermaksud untuk merepresentasi Allah. Itu tahta-Nya.
Dalam kehidupan kita misalnya, satu kursi yang hanya diduduki oleh bapak keluarga bisa dilihat sebagai lambang yang menghadirkan dia, meski dia sedang tidak duduk di sana. Jadi kerub di atas tabut perjanjian itu menunjuk ke sana. Dalam Kitab Suci ada yang mengatakan,”Engkau yang bersemayam di atas kerub!” Itu berarti kerub adalah tahta Allah, bukan Allah.
Begitu pun dengan ular. Ular itu tidak dimaksud sebagai representasi dari Allah. Menurut prinsip homeophati, seseorang bisa disembuhkan dari sesuatu penyakit dengan sesuatu yang mirip dengan penyebab penyakit itu. Misalnya, kalau kita pakai serum, itu berarti ada sedikit dari racun yang dipakai sebagai pembangkit resistensi. Begitulah, di dunia kuno, seringkali kalau mereka sakit karena digigit oleh ular, yang menyembuhkan adalah obat yang punya kemiripan dengannya.
Ketika mereka melihat ular dan sembuh, itu bisa dipahami dalam pengertian homeophati tadi. Ular itu tidak sama sekali merepresentasikan kehadiran Allah. Itu sarana yang diberikan Allah supaya mereka bisa sembuh.
Kitab Ulangan menegaskan bahwa kita tak boleh membuat patung yang menyerupai apapun, bukan hanya Allah?
Ya, tapi dari konteks itu, jelas bahwa yang pertama-tama dalam bab sebelumnya, bab 4, pokoknya berdekatan dengan teks 10 Firman. Jadi kita harus kaitkan dengan itu. Tetapi kalau diberi sebagai alasan bahwa di Sinai kamu tidak melihat tapi hanya mendengar, ya itu berarti Allah mengaitkan dengan diri-Nya. Dan tidak bicara mengenai makluk lain. Di situ hanya dikatakan bahwa suara-Ku didengar. Konteks itu jelas membatasi mengenai patung Allah.
Kita umat Katolik berlutut di depan patung, bukankah dia lagi menyembahnya?
Antara manusia, kalau kita lihat dalam tradisi Jawa, sebagai tanda hormat, anak-anak misalnya dalam perkawinan juga berlutut di depan orang tuanya untuk menerima doa restu. Jadi berlutut tidak persis berarti menyembah, tapi memberi hormat.
Kalau orang berlutut di depan patung Maria, dia menghormati Maria dan menyembah Allah dalam satu gerak. Di situ doa tidak berhenti pada Maria, tapi bersama Maria menghadap Allah. Sehingga berlutut itu boleh dikatakan mempunyai arti ganda, hormat terhadap Maria yang kita lihat sebagai Bunda kita, tetapi sekaligus berada di depannya yang berdoa dan menyembah Allah.
Berarti ada perbedaan antara menyembah dan menghormati?
Kalau menghormati itu tetap manusia. Menyembah itu yang Ilahi. Jadi orang harus sangat jelas membedakannya. Orang kudus itu manusia. Sedangkan Kristus, Allah Bapa, Roh Kudus adalah sesembahan kita.
Jadi bagaimana seharusnya kita menginterpretasikan nats dalam Kitab Ulangan itu?
Saya kira itu lebih berkaitan dengan ”Jangan ada di hadapanmu ilah-ilah lain”. Ilah itu bisa mamon, bisa baal yang sumber dewa-dewa, bisa juga apapun yang kita dewakan.
Bila saya merasakan bahwa saya diselamatkan oleh teknik modern, bahwa teknik modern menjadi penyelamat saya, membuat saya menggantungkan seluruh diri saya pada teknik modern, itu berarti saya sudah mendewakannya. Itu berarti bahwa sudah menempatkan ilah lain di samping Allah.
BACA JUGA: SEBENARNYA TAK ADA LARANGAN MEMBUAT ATAU BERDOA MEMAKAI PATUNG http://www.kitakatolik.com/sebenarnya-tak-ada-larangan-membuat-atau-berdoa-memakai-patung/
2 Comments on “Prof.Dr. Martin Harun, OFM: “Yang Dilarang Itu Patung Allah Bapa!””