Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon.
Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa.
Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi.
Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis.
Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.” (Lukas 6:17.20-26)
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng
“Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamu yang empunya Kerajaan Allah” (Luk. 6:20). “Celakalah kamu, hai orang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburan” (Luk. 6:24).
Ayat-ayat di atas secara “nakal” bisa saja kita katakan:”Celakalah kamu yang miskin, karena kamu tidak mempunyai Kerajaan Allah” dan “Berbahagialah kamu, hai orang kaya, karena dalam kekayaanmu, kamu tetap mempunyai Kerajaan Allah…”
Kunci berbahagia atau celaka, bukan soal “miskin” atau “kaya”, tidak berada atau berada. Bukan soal kita berkelimpahan atau berkekurangan. Bukan soal kita punya atau tidak punya materi/duit, punya kemampuan atau tidak. Bukan soal punya ini-itu atau tidak punya ini-itu, melainkan soal sikap rohani, sikap hati, relasi yang pas terhadap peran, campur tangan Tuhan dan orang lain di dalamnya: Memiliki dan memperhatikan relasi, komunikasi atau hubungan dengan Allah atau tidak dalam “kerajaan hidup kita yang miskin atau kaya” itu! Sejauh mana kita tetap mengandalkan Allah “dalam kerajaan hidup kita yang miskin atau kaya” itu.
Rahasia hidup bahagia atau tidak (celaka), ada pada relasi dan komunikasi yang terjalin baik dengan Tuhan.
Dalam kelimpahan (kekayaan) dan kesuksesannya, manusia (kita) kerap mengandalkan kekuatan diri sendiri. Sedangkan dalam kemiskinan/kekurangan dan kegagalannya manusia (kita) justeru mengandalkan kekuatan atau campur tangan Tuhan dan orang lain. Hal terakhir inilah yang memungkinkan kita berbahagia dan menikmati hidup ini.
Maka bersyukurlah apa adanya, mau kaya atau miskin, sama saja, tetap mengandalkan Tuhan di dalamnya, maka kita berbahagia. Tidak melibatkan Tuhan di dalam kerajaan miskin kita atau dalam kerajaan kaya kita, “celakalah” kita. Tinggal sekarang, mau pilih celaka atau berbahagia? Pasti mau pilih berbahagia!
Selamat berbahagia. Jangan melupakan Tuhan setiap Hari Minggu (wajib misa/ibadat Hari Minggu) dan vakultatif dalam Misa Harian.
Semoga Allah Tritunggal Mahakudus (+) memberkati kita sekalian yang mau hidup berbahagia. Amin.