Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?”
Maka berkatalah Ia kepada mereka: “Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepada-Ku: Hai tabib, sembuhkanlah diri-Mu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asal-Mu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!”
Dan kata-Nya lagi: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.Dan Aku berkata kepadamu, dan kata-Ku ini benar: Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel ketika langit tertutup selama tiga tahun dan enam bulan dan ketika bahaya kelaparan yang hebat menimpa seluruh negeri.Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang dari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.”
Mendengar itu sangat marahlah semua orang yang di rumah ibadat itu. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi. (Lukas 4:21-3)
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng
BEGITU banyak orang (kita) yang mungkin jadi “korban” semata-mata karena prasangka atau pikiran salah, keliru atau negatif. Hanya melihat sisi negatif dan gelap dari perbuatan orang lain yang sebenarnya baik, benar dan cemerlang dan membawa pencerahan.
Yesus dalam Injil hari ini menjadi “korban” prasangka atau pikiran negative itu. Orang Nazareth, orang sekampungNya, tidak menerima “perbuatan besar yang telah dikerjakanNya”, hanya karena mereka tahu latarbelakang hidup dan keluargaNya. Mereka menolak karena melihat Yesus sebagai orang biasa-biasa saja, bukan keturunan raja, bukan keturunan rabbi yang terkenal; keluarga dan sanak saudaraNya mereka kenal baik, anak tukang kayu, sederhana, biasa-biasa saja. Mereka heran mengapa Dia bisa berkotbah baik, dan membuat mukjizat-mukjizat. Merekapun menolaknya. “Yesus mengajar di situ (tempat asalNya) di rumah-rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata:’Dari manakah diperolehNya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mukjizat-mukjizat itu? Bukanlah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibuNya bernama Maria… Bukankah saudara-saudaraNya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi darimana diperolehNya semuanya itu?’Lalu mereka KECEWA dan MENOLAK DIA. Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung,..untuk melemparkan Dia dari tebing itu” (Luk. 4: 20-24.29-30).
Prasangka negatif/miring mereka, pikiran buruk dan negatif mereka menghalangi mereka untuk melihat “perbuatan besar yg telah dikerjakanNya”; menghalangi mereka untuk melihat sisi positif dan sisi terang dari apa yg telah dikerjakanNya. Selalu mencari celah untuk menonjolkan sisi negatif dan gelapnya. Mereka memperhatikan “siapa” yang berbicara, bukan “apa” yang dibicarakan. “Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya,” kata Yesus kepada mereka dengan kesal (Luk.4: 24).
Sikap MENOLAK atau DITOLAK sering ada dan terjadi juga pada kita. Terutama MENOLAK Tuhan dan seluruh karya besarNya. Juga menolak orang lain dan ditolak orang lain karena prasangka. Ada perasaan suka dan tidak suka pada “orangnya”, dan bukan pada “apa yg dibuat atau dikatakanya”.
Kita diajak untuk berusaha melihat sisi positif dan terang dari apa yang “mungkin dilihat dan dirasakan negatif dan gelap” dalam peristiwa hidup kita “di sini saat ini”. Jangan menolak Tuhan dan orang lain yang membawa “pencerahan” untuk kita.
Semoga Alllah Tritunggal Mahakudus (+) memberkati kita yang selalu berpikir positip dan melihat sisi terang dari hidup yang penuh dengan “kegelapan” ini. Amin.