Sekali peristiwa, Yesus bersabda: “Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.
Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar. Celakalah kamu, sebab kamu sama seperti kubur yang tidak memakai tanda; orang-orang yang berjalan di atasnya, tidak mengetahuinya.”
Seorang dari antara ahli-ahli Taurat itu menjawab dan berkata kepada-Nya: “Guru, dengan berkata demikian, Engkau menghina kami juga.” Tetapi Ia menjawab: “Celakalah kamu juga, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kamu sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jaripun.” (Lukas 11:42-46).
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng.
TUHAN Yesus mengecam orang Farisi dan ahli Taurat (mungkin kita juga) karena hanya padai berbicara tentang kebaikan, namun tidak melakukan atau mempraktekkan apa yang dikatakan, bahkan cenderung menghakimi dan mempersalahkan dan merendahkan orang lain. Apa yang dilakukan orang Farisi dan ahli Taurat (kita) itu adalah sekedar membangun pencitraan diri, kelihatan baik tapi dengan cara “berbohong”. Sikap ini dikecam dan tidak disukai oleh Yesus.
Membangun hidup jujur dan apa adanya jauh lebih sulit daripada membangun “pencitraan diri” yang tampak baik. Dengan pencitraan diri yang tampak baik, orang (mungkin kita) mengharapkan mendapat penghormatan dan penghargaan masyarakat atau orang lain dengan berkata-kata yang indah dan penuh kebijaksanaan di depan umum.
Sebagai murid Kristus, kita diajak dan diharapkan untuk membangun citra diri yang baik dengan kwalitas sikap hati yang jujur, tulus, otentik dan selalu berbuat baik, walaupun tidak ada orang yang memuji dan menghargai kita. Sikap ini jauh lebih berharga dan mulia daripada memunculkan sikap munafik dan “berbohong” agar orang menilai baik diri kita. Nanti Tuhan Allah sendiri yang “memuji dan menghormati” kita.
Bagaimana itu bisa dilaksanakan? Dengan melepaskan diri dari segala keinginan untuk dihormati, dipuji, diakui, dihargai, diagung-agungkan, dan lain-lain semacam itu. Bukan itu yang membuat kita bahagia. Yang membuat hidup kita bahagia dan damai adalah jika kita hidup tulus, jujur, apa adanya dan selalu melakukan kebaikan tanpa pamrih. Dan semua itu kita lakukan demi kemuliaan Tuhan dan sesama semata.
Bunda Maria adalah teladan kita dalam melakukan kebaikan demi kemuliaan Tuhan dan sesama. “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku, menurut perkataanmu,” kata Maria kepada Malaekat pembawa kabar sukacita kepadanya.
Semoga dengan bantuan Doa Bunda Maria dan Santo Yosef, Allah Tritunggal Mahakudus (+) memberkati kita yang telah melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Tuhan dan sesama. Amin.