TANGERANG, KITAKATOLIK.COM—Jamu Jati Kendi. Itulah resep yang ditawarkan Pastor Felix Supranto untuk menjaga dan memelihara kerukunan antar umat beragama di Indonesia, mulai dari tingkat lokal. Jamu jati kendi sendiri merupakan singkatan dari “jaga mulut, jaga hati, dan kendalikan diri” (jamu jati kendi).
Lidah bisa lebih tajam dari pedang bermata dua. Ia bisa memicu konflik, bahkan peperangan. Karena itu, menjaga lidah menjadi hal yang sangat penting. Dalam kaitan dengan relasi antar umat beragama, kewajiban untuk menjaga lidah ini perlu dikedepankan. Banyak konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) terjadi karena orang tidak bisa menjaga lidahnya.
“Jaga mulut atau ‘jamu’ merupakan satu prinsip utama yang harus kita pegang dalam merawat kebhinekaan,” kata Romo Felix Supranto, SS.CC., Pastor Paroki Citra Raya, gereja Santa Odilia. Kita, kata pastor yang sejak enam tahun silam ini telah melibatkan diri dalam komunikasi yang intens dengan masyarakat muslim Tangerang untuk membangun dan memupuk persaudaraan sejati lintas agama, ini harus menghindarkan diri dari segala ucapan yang bernada meremehkan, menghina atau bahkan mencacimaki. “Jangan mengeluarkan kata-kata yang membuat orang tersinggung,” katanya.
Selain menjaga mulut, kita juga harus “jati” (menjaga hati). “Kita harus menjaga hati dari iri hati, dengki dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Kita harus membuka komunikasi dengan umat beragama lain dengan hati yang tulus. Hati yang tulus adalah tempat Allah bersemayam dan itu akan terbaca dan mengalir,” katanya pria kelahiran 23 Juli 1966 ini.
Sementara “kendi” adalah singkatan dari kendalikan diri. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa kita memang kawanan kecil dan karena itu dipanggil untuk menjadi ragi dan garam tentang kasih. Dalam berinteraksi dengan umat muslim misalnya, kita harus tahu dulu mana yang boleh diucapkan atau dilakukan dan mana yang tidak boleh.
“Sebelum mengadakan interkasi, kamu harus tahu dapur mereka. Kamu harus tahu apa yang boleh dan tidak boleh. Contoh jangan membuat humor atau lelucon dengan memakai istilah-istilah agama.
Yang juga perlu diperhatikan dalam kaitan dengan “kendi” adalah jangan mendiskusikan tentang masalah iman. Tahan diri terhadap diskusi tentang akidah orang lain. “Kalau Anda mengatakan assalamualaikum dan mereka tidak menjawab, Anda tidak perlu berkecil hati. Itu masalah iman mereka. Mereka mengucapkan itu dengan doa,” jelas Pastor Felix.
Kunci membangun dan merawat kebhinekaan, simpul pastor Felix, adalah minum jamu jati kendi (jaga mulut, jaga hati, dan kendalikan diri).
Satukan hati
Menurut pastor Felix, gesekan yang terjadi dan mengganggu kebhinekaan, banyak kali distimulir oleh tidak adanya komunikasi.
“Bukan masalah mayoritas dan minoritas, tapi persoalannya adalah antara tidak mengenal dan tidak dikenal. Karena kita masih tenggelam dalam diri kita sendiri. Maka perlu sifat ugahari, yaitu rendah hati, menyapa, keluar dari kita sendiri. Kita harus memperkenalkan diri kita,” katanya.
Caranya? Yang pertama, silahturahmi. “Sila itu menyatukan. Rahmi itu rahim yaitu hati. Jadi silahturahmi itu menyatukan hat,” katanya.
Ada beberapa pihak yang menjadi tujuan silahturahmi kita. Yang pertama didengan pilar-pilar yang menjaga kebhinekaan. “Banten adalah islam yang sudah bersatu dengan budaya, dalam arti bahwa luar islam adalah asing. Peran ulama sangat sentral. Ini kota santri dan kita harus akui bahwa mereka akan menjadi pemimpin masa depan. Maka mau tidak mau kita harus memberikan hati. Kita harus masuk dalam hati mereka,” katanya.
Ia menambahkan, sebagai murid Tuhan, kita semestinya memiliki kelebutan yang memampukan kita masuk dalam hati orang.
Kita juga perlu bersilahturahmi dengan penjaga keamanan, TNI dan sebagainya, juga muspika. Juga dengan orang-orang yang dituakan. “Pertama kali kita mengadakan silahturahmi, mungkin menimbulkan penasaran, karena merupakan sesuatu yang baru. Yang kedua, pasti menimbulkan kerinduan. Kali ketiga akan menjadi persaudaraan.”
Supaya bisa dikenal, kita juga harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran kita dalam setiap upacara dalam masyarakat, dan juga upacara dari umat yang berbeda agama, khususnya muslim, bisa memperat persaudaraan.
“Ketika kita diundang berarti kita sudah diingat. Ketika kita tidak hadir, mereka akan kecewa. Tapi ketika kita hadir, mereka bahagia. Jadi kita harus punya waktu untuk itu.”
Selain itu, kita juga perlu mengikuti gerakan masyarakat, acara-acara kebangsaan, gotong royong dalam masyarakat. Dengan jalan itu, kita mulai dipererat dan diperekat dengan keprihatinan bersama.
“Yang saya lakukan adalah dengan ‘kampung gotong royong’. Sekarang baru dua, yaitu di Tigaraksa dan Cisoka. Nanti ada di delapan kecamatan. Kita menanam sayur-sayuran dan dibersihkan bersama-sama. Selain menambah ekonomi mereka, kita diikat dalam rasa persaudaraan. Kita melibatkan masyarakat, RT/RW setempat, Kapolresta, TNI, juga umat muslim, ormas muslim, dan kampung itu menjadi milik bersama,” urai pastor Felix.
Terinspirasi oleh “kampung gotong royong” yang sudah berjalan, ke depan, akan dilakukan gerakan bersama untuk memperbaiki pesantren di pelosok-pelosok.
Ia mengaku tak suka dengan perlombaan-perlombaan yang bertujuan untuk membangun kebhinekaan. “Itu akan membangun semangat bersaing dan kontraproduktif dengan upaya kita membangun kebersamaan. Yang kalah terluka.”
Ganti menggelar perlombaan, pihaknya melakukan “outbond cinta tanah air” yang melibatkan anak-anak muda lintas agama. Panitianya adalah para orangtua mereka. Dalam acara itu, mereka bisa bagaul, juga di dapur bersama, dan mereka bersatu.
“Kita memang harus melakukan pembauran sejak dini, toleransi harus diciptakan sejak dini.” (Paul MG)