JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—COVID-19 dengan akibat buruk yang ditimbulkannya, menjadi ‘bak “tamu” tak diundang bagi siapapun. Korban terus berjatuhan. Menurut data hari Sabtu (13/2/2021) yang lalu, wabah yang mulai muncul di Indonesia pada 2 Maret 2020, ini telah membuat 32.936 orang meninggal dunia.
Ia menghantam siapa saja, tak peduli status sosial dan ekonomi seseorang. Tak pandang profesinya. Para rohaniwan pun turut menjadi korbannya. Selasa (5/1) siang, “tamu tak diundang” itu menghampiri pengacara senior Dr. Roy Rening SH, MH.
Tanda-tanda datangnya sudah terbaca sejak sehari sebelumnya. Pada Senin (4/1) siang, ia sudah ke dokter untuk melakukan test swab yang hasilnya baru diketahui keesokan harinya.
Malamnya, suhu tubuhnya makin tak menentu, bergerak naik dari 37 ke 37,5 hingga 38 derajat Celsius. Kepalanya pusing. Istrinya mencoba menurunkan panas dengan cara mengompres dengan memakai es batu. Tapi tak turun juga. Ia terserang demam tinggi.
Selasa siang, ia dinyatakan positif COVID-19. “Saya langung kalut, panik dan stress,” akunya.
Salib Kristus
Antara pukul 18.00 hingga 19.00 WIB, Roy tiba di RS. Sint Carolus. Ia memilih rumah sakit yang terletak di Jalan Salemba Raya ini karena selain pelayanannya bermutu, juga karena ada salib di setiap ruangannya.
“Saya bilang sama mereka, saya tidak bisa tidur kalau tidak ada salib. Salib itu yang menyelamatkan saya. Saya hanya mau di rumah sakit yang ada salibnya,” kata Roy ketika ada yang memintanya berobat ke rumah sakit lainnya, karena ruang rawat untuk pasien COVID-19 di Sint Carolus sudah penuh.
Apalagi saat itu hampir seluruh rumah sakit yang berkualitas dan maksimal pelayanannya seperti RSPAD, Persahabatan, Sulianto Saroso dan RSCM sudah penuh semuanya.
Roy mencoba menghubungi orang-orang paling berpengaruh di rumah sakit tersebut. Sebagai aktivis Katolik yang sejak muda berjuang untuk kepentingan gereja, penasihat hukum terpidana mati Fabianus Tibo dan kawan-kawan terkait tragedi kemanusiaan berlatar agama di Poso, ini yakin bila ia berpeluang dirawat di Sint Carolus yang sudah dianggapnya sebagai rumah sakitnya sendiri.
Karena semua kamar penuh, ia panik. Tiba-tiba ada suara dari dalam hatinya yang memintanya mengontak salah seorang tokoh sentral dalam gereja Katolik Jakarta dan bahkan Indonesia.
“Saya menghubungi beliau lewat WA. Saya ceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa saya positif terpapar Covid-19 dan sekarang sudah di RS Sint Carolus tapi sampai saat ini belum dapat kamar untuk perawatan. Puji Tuhan, beliau mengenal saya dengan baik dan cukup cepat merespon,” ujar Roy.
Tak berselang lama, Suster Lucia, CB yang menjadi kepala biara pengelola rumah sakit Sint Carolus tersebut, segera menghubungi Roy Rening. Dengan lembut Suster Lucia menyapa Roy Rening dengan pertanyaan sederhana, “Apakah Pak Roy sudah santap sore atau malam?”
Sapaan lembut itu membuat Roy Rening menjadi tenang. “Benar suster, dari sore tadi saya belum sempat makan apapun karena stress mencari rumah sakit yang bisa merawat saya. Tapi sapaan suster sungguh membuat saya tenang,” balas Roy.
Setengah jam kemudian, Roy mendapat kabar bahwa kamar untuknya sudah tersedia, di kelas VIP I Unit Fransiskus khusus pasien Covid 19. Kebetulan ada pasien yang baru selesai dirawat di situ. Tanpa pikir panjang lagi, Roy langsung setuju dirawat di rumah sakit tersebut.
“Jujur suster, saya senang bisa dirawat di sini, sebab ini rumah sakit saya sebagai orang Katolik,” katanya lagi.
Roy mengaku sangat beryukur atas respon cepat dari tokoh katolik tersebut dilanjutkan pelayanan yang ramah dari pihak Sint Carolus.
Ia juga merasa sangat bersyukur karena telah mengambil bagian dalam “jalan salib” gereja Indonesia. Selama ini Roy memang telah menetapkan hati untuk berjuang demi keadilan. Ia terlibat dalam membantu dan membela kemanusiaan, seperti mengadvokasi hak hukum almarhum Tibo cs, Alm Romo Frans Amanue, Pr, Herman Jumat Masan dan pembelaan kebebasan beragama. Semua aktivitas kemanusiaan itu , merupakan modal sosial dan rohani yang sungguh membantunya. Tanpa modal itu, suara hati yang mendorongnya untuk menghubungi tokoh katolik tersebut, barangkali tak muncul.
“Saya merefleksikan suara itu sebagai Karya Roh Kudus karena Ia ingin saya masih harus berjuang menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia,” kata pria berusia 54 tahun ini.
Selama 11 hari dirawat di rumah sakit Carolus, Roy selalu membuka hari dengan mengikuti perayaan Ekaristi melalui live streaming yang disiarkan dari banyak Paroki. Setiap hari, pagi, siang, dan sore, tiga orang dokter bergantian memeriksa kesehatannya.
Pada tanggal 15 Januari, dokter memperbolehkan Roy Rening isolasi mandiri di rumah. Dan pada 20 Januari, tokoh yang menerima penghargaan sebagai Pejuang Hukum dan Keadilan dari Persekutuan Wartawan Media Kristen Indonesia ini, dinyatakan telah terbebas dari serangan virus Covid-19.
Selain karena intervensi medis, perawatan dan perhatian dokter dan para medis, Roy yakin bahwa kesembuhannya terjadi karena iman.
“Salib itulah yang menyembuhkan saya. Selain, tentu saja, karena perawatan, obat-obatan dan perhatian dari para medis di Sint Carolus,” tegas Roy.
Jangan anggap remeh
Sebagai salah seorang penyintas COVID-19, Roy meminta kita tak menganggap remeh dengan penyakit yang belum ada obatnya ini.
“Protokol kesehatan itu harus dilaksanakan dengan ketat. Virus itu masuk melalui mulut, hidung dan tangan. Karena itu aturan pakai masker dan cuci tangan itu tak boleh ditawar-tawar. Kita harus patuh pada ajuran pemeritah,” tegasnya.
Hal kedua yang harus dilakukan adalah bertobat. Melalui gerakan new normal, kita diajak untuk menjalani hidup dengan norma-norma yang baru. Tak boleh sembarangan, harus hidup bersih, teratur dan disiplin.
“Yang paling utama, mari kita hidup lebih dekat dengan Tuhan. Penyakit ini membuat kita lebih dekat dengan Tuhan, dengan keluarga, dekat dengan anak-anak dan semakin rajin berdoa,” tukasnya. (pamago)