Terkait Hukuman Mati Sambo, Ketum PGI: Hukuman Mati Berlebihan!

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Setelah melewati proses pengadilan yang panjang dan melelahkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya menjatuhkan hukuman mati bagi Ferdy Sambo. Keputusan itu jauh lebih besar dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni pidana penjara seumur hidup.

Reaksi atas putusan hukum ini sangat beragam. Menteri Koordinator Bidang Politi, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD misalnya menegaskan bahwa hukuman tersebut sudah sesuai rasa keadilan publik.  Dia menegaskan, peristiwa kematian Yosua Nofriansyah Hutabarat sudah sepatutnya tergolong kasus pembunuhan berencana yang sanksi hukumnya adalah hukuman mati.

Merampas hak Tuhan

Tapi tak sedikit pula orang menolak keputusan tersebut, terutama terkait dengan sanksi hukuman mati itu sendiri yang dianggap berlebihan karena “merampas” hak Tuhan.

“Hukuman mati adalah sebuah keputusan yang berlebihan mengingat  Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Dengan demikian, hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya,” kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Ketum PGI) Pendeta Gomar  Gultom dalam siaran pers yang diterima kitakatolik.com, Selasa (14/2/2023).

Ditegaskan Gomar, penegakkan hukum oleh  negara haruslah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terang ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut.

“Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Peluang untuk memperbaiki diri ini akan tertutup, bila hukuman mati diterapkan,” tegasnya.

Ferdy Sambo saat dijatuhi hukuman mati

Penolakan terhadap hukuman mati, jelas Gomar,  sebenarnya sudah diterima oleh Pemerintah Indonesia karena telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Maka mestinya kita tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati.

Dalam perspektif HAM, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun.

“Apalagi UUD kita juga menegaskan hal tersebut. Dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) bahwa ‘hak untuk hidup, …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.’” katanya.

Ditambahkan, hukuman  mati itu juga mengesankan  lebih merupakan “pembalasan dendam” oleh negara, atau bahkan  frustrasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustrasi itu dilampiaskan kepada terhukum.

Menunggu 10 tahun

Sementara terkait pelaksanaan hukuman mati, Pengacara Hotman Paris Hutapea menyatakan pesimismenya. Pasalnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, disebutkan bahwa seorang yang telah dijatuhi hukuman mati tak bisa langsung dieksekusi tapi diberikan waktu 10 tahun untuk melihat perubahan sikapnya.

Adapun pasal 100 ayat 1 KUHP tersebut berbunyi, “Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana”.

“Jadi apa artinya gitu loh, sudah persidangan, sudah divonis sampai PK hukuman mati, tapi tidak boleh dihukum mati, harus menunggu 10 tahun untuk melihat mental orang ini apakah berubah jadi berkelakuan baik,” imbuhnya. (Pmg)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *