JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Reba atau tahun baru adat masyarakat Ngada, Flores, NTT, bukan sekedar ritual adat tahunan, tapi sungguh merupakan “perjalanan kembali” penuh sukacita ke akar budaya yang sarat dengan semangat kasih dan persaudaraan sejati.
“Dalam ‘perjalanan kembali’ itu, kita mau menghayati harmoni hidup yang sesungguhnya, yang sejati, bahkan yang melampaui perasaan ego budaya untuk sampai kepada empati pada setiap manusia, apapun latar belakang kebudayaan dan kehidupannya,” kata Uskup Keuskupan Maumere Mgr. Ewaldus Martinus Sedu saat memimpin perayaan Ekaristi dalam rangka Festival Reba Ngada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Sabtu (18/2/2023) yang lalu.
Karena semangat atau spirit dasar reba adalah kasih, pengampunan dan persaudaraan sejati, Uskup Ewaldus mengajak umat untuk terus mempraktekkan nilai-nilai luhur tersebut.
“Kita tidak dapat merayakan reba ini tanpa menanamkan dan menghayati budaya cinta kasih, budaya pengampunan, dan budaya kehidupan,” kata Uskup kelahiran Bajawa, Flores, 30 Juli 1963 ini.
Mgr. Ewaldus menegaskan bahwa penghayatan akan nilai-nilai tersebut menjadi jauh lebih penting justru ketika budaya kehidupan kontemporer menampakkan wajah yang sebaliknya. Di mana nyata persaingan yang membunuh satu sama lain, perseturuan yang mengaburkan arti pengampunan, dan cinta serta harga diri berlebihan yang menenggelamkan arti harmoni yang memberdayakan dan menyelamatkan.
Dihadiri ribuan orang
Ribuan warga diaspora Ngada yang berasal dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dan kota-kota besar lainnya tumpah ruah dalam Festival Reba ke-10 yang dikoordinir oleh PKBNJ (Paguyuban Keluarga Besar Ngada Jakarta dengan Ketua Panitia Fery Keo ini.
Festival dibuka dengan Misa Inkulturasi dipimpin Uskup Ewaldus didampingi Romo Eduard Ratu Dopo, SJ, Romo Angky Parera, Pr, Romo Marius Lami, CP, Romo John Fodhi Pr., Romo Rudy Muga, Romo Yohanes Podhi dan Romo Rolly da Vinci. Diiringi koor Ngada Ine Sina Choir dan tarian bernuansa pancawindu, misa inkulturasi ini terkesan agung dan meriah.
Setelah misa inkulturasi, dipentaskan ritual Reba dalam dua babak yakni doa adat sebagai penghormatan kepada leluhur orang Ngada yang berlangsung dalam Replika Sa’o Ngada “Ine Sina”, dan diikuti dengan Soka Uwi (Pujian terhadap Ubi), Kelo Ghae (Prosesi), dan Sedo Uwi (Tandak Puja Puji Ubi). Tandak Sedo Uwi dipentaskan dalam dua langgam yaitu langgam “O Uwi” dan langgam “Goe Goe”.
Menurut tokoh Ngada diaspora Siprianus Bate Soro yang saat itu bertindak sebagai MC bersama Yustin Sola, Soka Uwi kali ini menampilkan inspirasi dari Reba Nua Nage dari wilayah kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada. Sementara tandak “O Uwi” mengambil inspirasi dari hampir seluruh kampung di Ngada. Tandak Goe Goe mengambil inspirasi dari wilayah Golewa (Toda Belu, Doka Radabata), Golewa Selatan (Sadha), dan Jerebu’u (Doka Rèdu, Niki Si’e, dan Dona).
“Beragam langgam ini memang sengaja dipentaskan untuk menampilkan kekayaan budaya Reba dari Tanah Ngada,” kata Sipri.
Setelah pementasan Ritual Adat Reba, acara festival dilanjutkan Ka Maki Reba, yaitu makan bersama perjamuan Reba dengan cita rasa khas tanah Ngada yaitu raarete, tua bhara, tua ara dan beberapa minuman ringan lainnya.
Fetival reba kali ini dihadiri juga antara lain oleh Wakil Gubernur NTT Yosep Nae Soi, Bupati Ngada Andreas Paru dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Vinsensius Milo. Tampak hadir beberapa tokoh senior Ngada diaspora seperti mantan bankir Moses Timu dan Mantan Duta Besar Chile Aloysius L. Madja. Hadir pula Kabiro Umum Kemkominfo Republik Indonesia Sensilaus Dore. (Pmg).