KITAKATOLIK.COM—Berziarah ke kuburan atau columbarium (tempat penyimpanan abu jenazah yang sudah dikonsekrasikan) merupakan kebiasaan baik yang dihayati oleh umat katolik.
Pada saat anggota keluarga yang telah meninggal berulang tahun misalnya, kita berkunjung ke kuburan. Secepatnya setelah kembali dari rantau, kita juga berkunjung ke kuburan. Begitu pula saat mau berangkat merantau, kunjungan ke kuburan menjadi suatu keharusan. Bahkan untuk keluarga-keluarga tertentu, kebiasaan itu dilakukan saban minggu.
Tapi tradisi yang bagus ini sering dianggap sebagai sebuah kesia-siaan belaka. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai bagian dari tahyul. Nah bagaimana meresponinya?
Pada Selasa (24/11/2020), melalui live streaming-nya, saluran rohani HidupTv menghadirkan Romo Reynaldo Antoni Haryanto, Pr dalam topik ini, di bawah judul “Kunjungan ke Makam dan Rumah Abu dalam Tradisi Katolik”.
Dalam salah satu dari 30 serial katekese tentang kematian yang digelar sejak tanggal 1 hingga 30 November ini, pastor Aldo, begitu dia biasa disapa, bertolak dari fenomena manusiawi di mana kita biasa saling mengunjungi dan berkomunikasi.
Lalu apa hubungannya dengan ke kuburan atau rumah abu?
Mengutip Katekismus Gereja Katolik (KGK) nomor 1013: “Kematian adalah titik akhir peziarahan manusia di dunia”, Pastor Aldo menegaskan bahwa kematian memang merupakan akhir dari perjalanan kita. Tapi itu bukan akhir dari segala-galanya.
“Justru kita beralih ke dalam peziarahan yang lain, dalam bentuk yang lain juga. Bukan dengan tubuh jasmaniah seperti sekarang ini, tetapi dengan tubuh rohani,” kata imam Keuskupan Agung Jakarta yang sekarang bertugas di Paroki Jalan Malang, Santo Ignatius Loyola, Jakarta Selatan ini.
“Kita yakin bahwa secara ragawi saudara-saudari kita itu meninggal, tapi secara rohani, di dunia yang lain, dia masih ada bersama-sama dengan kita,” tambahnya.
Lalu bagaimana cara kita berkontak dengan mereka? Menurut romo Aldo, kontak terjalin dalam dua jalan. Pertama melalui doa-doa kita. Dan yang kedua melalui kunjungan ke makam atau rumah abu.
“Jadi kalau kita datang berziarah ke saudara-saudari kita yang sudah meninggal, itu tak ubahnya ketika kita mengunjungi rumah orang-orang yang masih hidup. Hanya bedanya sekarang kita mengunjungi ‘rumah’ mereka yang sudah mati,” katanya.
Karena cinta
Dalam bagian lain, romo Aldo menegaskan bahwa Kitab Suci beberapa kali memuat kisah tentang kunjungan ke makam itu.
Pertama dalam Matius 28: 1, “Setelah hari sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain menengok kubur itu.”
Kedua, Markus 16: 1, “Setelah lewat hari sabat, Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus serta Salome membeli rempah-rempah untuk pergi ke kubur dan meminyaki Yesus.”
Lalu Injil Lukas 24:1 menulis, “Tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu, mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah disediakan mereka.”
Yohanes pun mengungkapkan hal yang sama. “Pada hari pertama minggu itu, ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan dia melihat bahwa batu itu telah diambil dari kubur.” (Yohanes 20:1).
Keempat perikop tersebut, kata pastor Aldi, bercerita tentang kisah yang sama. Mereka membawa serta minyak wangi, supaya makam itu wangi.
“Apa motivasi mereka sehingga mereka mau datang pagi-pagi benar? Sepertinya karena cinta. Cinta kasih, rasa sayang mereka terhadap Yesus, itulah yang menggerakkan mereka untuk mengunjungi makam. Dan saya pikir, cinta pula-lah yang membuat kita mau datang jauh-jauh untuk mengunjungi makam di mana sudara-saudari kita beristirahat dalam keabadian,” katanya.
Berdoa bagi yang telah meninggal
Selain menyiangi rerumputan atau membersihkan kuburan, tujuan kita ke kuburan adalah berdoa. Apa yang kita doakan di sana?
“Pertama-tama doa tersebut adalah doa permohonan akan keselamatan, agar Allah berkenan menyelamatkannya dan melimpahkan kemurahan hati serta belaskasihan-Nya kepada mereka yang telah dipanggil-Nya,” kata romo Telephorus Krispurwarna Cahyadi, SJ dalam tulisannya berjudul “Ziarah ke Kuburan” dalam Hidupkatolik.com, 12 Desember 2018.
Menurut Teolog yang juga Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta ini, doa bagi mereka yang telah meninggal adalah permohonan bagi pengampunan dosa bagi jiwa mereka.
Ia mengutip Kitab Makabe, khususnya 2 Makabe12: 45. “…disuruhnyalah mengadakan korban penebusan dosa untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka”.
Doa arwah atau ziarah kubur juga merupakan suatu cara atau bentuk pengenangan dan penghayatan akan persekutuan dengan mereka yang telah meninggal.
Terkait persekutuan kita dengan mereka yang telah meninggal, Konsili Vatikan II dalam dokumennya tentang Gereja, Lumen Gentium, menyatakan bahwa kesatuan dengan mereka yang telah beristirahat dalam Kristus tidaklah terputus, namun diteguhkan dengan berbagi harta rohani (lih LG 49).
Bahkan, sambung Pastor Telephorus, dokumen tersebut mengingatkan bahwa tradisi tersebut telah dinyatakan Gereja sejak awal, sejak konsili Nicea II (787), karenanya doa di hadapan mereka yang telah meninggal bisa memperkaya iman.
“Dari sini kita bisa melihat bahwa doa kepada mereka yang telah meninggal dan ziarah kubur bukanlah suatu takhayul, sebab doa-doa tersebut bukanlah penghormatan akan arwah atau pengsakralan kuburan. Bukan jenasah itu yang dihormati dan bukan kubur didatangi untuk mendapatkan kekuatan, melainkan Gereja dengannya menghargai kehidupan dan terlebih mengakui pemilik kehidupan, yakni Allah sendiri,” tulisnya. (pamago)