KITAKATOLIK.COM—Hampir semua imam Katolik di Sierra Leone, salah satu negara Afrika, memiliki orangtua beragama Islam. Menurut Uskup Natale Paganelli, Uskup Keuskupan Makeni di Sierra Leone, Afrika, mereka menjadi imam meski berorangtuakan penganut Islam karena faktor pendidikan.
“Kebanyakan Pastor Katolik adalah putra-putra Muslim. Mengapa? Karena sekolahnya,” kata Uskup dari Ordo Xaverian, kelahiran Italia ini. Sebelum jadi uskup, ia menghabiskan 22 tahun imamatnya di Mexico dan selanjutnya menjadi AdministratorApostolik Keuskupan Makeni di Sierra Leone dari tahun 2012–2023.
“Ketika Xaverian tiba, mereka menggunakan strategi yang sangat menarik. Karena hampir tidak ada sekolah di wilayah utara negara itu, mereka mulai mendirikan sekolah tersebut, mula-mula sekolah dasar, kemudian sekolah menengah. Evangelisasi dilakukan melalui sekolah-sekolah,” katanya.
Mengenai umat Islam yang bersekolah di sekolah Katolik, Paganelli menjelaskan bahwa “mayoritas dari mereka, bersekolah di sekolah kita yang memiliki banyak gengsi, alhamdulillah, bersentuhan dengan agama Kristen, dengan para pastor, dan pada titik tertentu mereka meminta dibabtis dan mengikuti kursus katekumenal di sekolah yang sama. Secara umum, tidak ada penolakan dari orang tua.”
Menurut Uskup Paganelli, masyarakat Sierra Leone sangat toleran, toleransi agama mereka sangat tinggi. Toleransi ini, kata dia, merupakan hal terindah yang bisa diekspor ke dunia, tidak hanya berlian, emas, dan mineral lainnya.
Di tambahkannya, satu-satunya masalah serius di sana adalah permintaan dari kepala suku muslim yang meminta agar di setiap desa ada sekolah Katolik. Itu, kata dia lagi, merupakan satu hal yang sulit dilakukan, bahkan tidak mungkin.
“Saya tidak bisa membangun sekolah Katolik di setiap desa, itu tidak mungkin; sudah ada 400, jumlah yang sangat besar,” katanya seperti dilaporkan Walter Sanchez Silva kepada Catholic News Agency. Uskup asal Italia ini mengatakan saat ini terdapat lebih dari 100 imam di empat keuskupan di Sierra Leone.
“Jumlah imam bertambah namun panggilan religius, khususnya panggilan perempuan, sedikit berkurang karena hal tersebut lebih rumit, karena dalam budaya mereka perempuan tidak dihargai secara tinggi, sehingga lebih sulit bagi mereka untuk memikirkan tentang hidup bakti,” ujarnya. (Admin).