Literasi Hukum dan Etika Media Sosial Jadi Sorotan di Paroki Trinitas Cengkareng

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Di tengah derasnya arus komunikasi digital, Gereja Katolik Paroki Trinitas Cengkareng menggandeng dunia akademik dan profesi hukum untuk memperkuat literasi etika bermedia sosial. Sebuah talkshow bertema “Etika Komunikasi dan Media Sosial yang Berimplikasi dalam Bidang Hukum” digelar di Aula St. Maria, Gedung Karya Pastoral lantai 3, sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi.

Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Seksi Keadilan dan Perdamaian Paroki Trinitas, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, dan DPC PERADI SAI Jakarta Barat, yang dihadiri oleh perwakilan umat Katolik dan dipandu oleh Bernardus Tomo.

Ladang misi baru

Febiana Rima Kainama, M.Hum., dosen tetap Unika Atma Jaya, membuka diskusi dengan penekanan bahwa media sosial bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga ladang misi baru bagi umat Katolik.

“Sebagai umat Katolik, kita harus menjadi misionaris digital yang mempromosikan kebaikan, bukan penyebar kebencian,” tegas Rima, lulusan Magister Humaniora Universitas Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa lebih dari 70% masyarakat Indonesia aktif di media sosial, termasuk umat Katolik. Maka, penting untuk menjadikan ruang digital sebagai tempat membangun persaudaraan, bukan medan pertempuran.

Senada dengan itu, Pastor Kepala Paroki Trinitas, Romo Reynold Agustinus Sombolayuk, OMI, menyampaikan keprihatinan atas fenomena pengguna media sosial yang baru sadar hukum setelah terjerat kasus.

“Orang dengan mudahnya bermedia sosial tanpa tahu konsekuensinya. Jangan sampai permintaan maaf publik jadi jalan keluar yang terlambat,” ujarnya.

Batas Hukum dalam Kebebasan Digital

Stefanus Gunawan, SH., M.Hum., Ketua DPC PERADI SAI Jakarta Barat, memaparkan dampak hukum dari aktivitas digital yang diatur dalam UU ITE, termasuk; Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran nama baik dan fitnah, Pasal 28 ayat 1 tentang Penyebaran hoaks atau informasi palsu dan Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran kebencian dan provokasi SARA.

“UU ITE bukan untuk membungkam, tapi melindungi. Sayangnya, penegakan hukum belum maksimal. Banyak masyarakat jadi korban karena minimnya literasi hukum,” tegas Stefanus.

Ia juga menyoroti bahwa meskipun undang-undang dianggap diketahui publik setelah diundangkan, secara faktual banyak masyarakat yang belum memahami isinya. Oleh karena itu, kegiatan edukasi hukum seperti ini sangat penting sebagai gerakan bersama.

Harapan dan tindak lanjut

Diskusi berlangsung interaktif, dengan audiens seperti Rizal U. Sinurat, Dion, dan Sumi menyuarakan pentingnya edukasi hukum yang berkelanjutan, terutama bagi kaum muda Katolik.

“Kegiatan seperti ini harus rutin. Waktunya terlalu singkat, tapi dampaknya besar,” harap Rizal.

Talkshow ini menjadi momentum penting untuk membangun kesadaran hukum dan etika digital di lingkungan gereja. Gereja, kampus, dan advokat telah membuka jalan. Kini giliran umat untuk melangkah bijak. (Adv. Darius Leka, S.H., M.H.).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *