KITAKATOLIK.COM—Menyusul penembakan atas Pastor Paul Tatu Mothobi, anggota Kongregasi Stigmata Suci (CSS) pada Sabtu (27/4/2024) yang lalu, Konferensi Waligereja Katolik Afrika Selatan (SACBC), mengeluarkan kecaman atas “safari” atau rentetan penembakan yang menimpa para pastor di Afrika Selatan.
Mereka menegaskan bahwa pembunuhan Pastor Paul Tatu Mothobi bukanlah sebuah pembunuhan yang berdiri sendiri tapi bagian dari safari tembakan yang terjadi selama ini. Sebelum penembakan atas Pastor Paul, telah terjadi perisiwa penembakan serupa. Pada 13 Maret 2024 yang lalu, Pastor William Banda, anggota Persatuan Misionaris Santo Patrick kelahiran Zambia ditembak di sakristi Katedral Tritunggal Mahakudus Keuskupan Tzaneen, Afrika Selatan.
“Perlu dicatat bahwa kematian Pastor Paul Tatu bukanlah satu insiden saja melainkan sebuah contoh menyedihkan dari memburuknya kondisi keamanan dan moralitas di Afrika Selatan,” tambah para pemimpin Gereja setempat dalam pernyataan bersama mereka pada Senin (29/4/2024) yang lalu.
Pembunuhan Tatu dan Banda, keluh mereka, terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai meningkatnya pengabaian terhadap nilai kehidupan, di mana orang-orang dibunuh secara tidak wajar.
Tertembak dalam mobil
Pastor Paul Tatu Mothobi adalah mantan petugas media dan komunikasi Konferensi Waligereja Katolik Afrika Selatan (SACBC). Kini ia melayani di Keuskupan Agung Pretoria, Afrika Selatan.
Menurut laporan, jenazahnya ditemukan dengan luka tembak di dalam mobilnya di jalan nasional di Afrika Selatan, yang membentang dari Cape Town melalui Bloemfontein, Johannesburg, Pretoria, dan Polokwane ke Jembatan Beit, sebuah kota perbatasan dengan Zimbabwe.
“Pastor Tatu bekerja selama beberapa tahun sebagai petugas media dan komunikasi SACBC dengan penuh dedikasi; kami sedih atas kematiannya yang tragis. Kami menyampaikan belasungkawa kami kepada kongregasi Stigmatine, di mana dia berasal, dan kepada keluarganya,” kata para uskup dari Botswana, Eswatini, dan Afrika Selatan dalam pernyataan satu halaman yang ditandatangani oleh presiden SACBC, Uskup Sithembele Sipuka.
Lahir pada tahun 1979 di Teyateyaneng, sebuah kota di distrik Berea, Lesotho, Pastor Paul Tatu bergabung dengan Stigmatines pada tahun 1998. Ia belajar filsafat di Rumah Studi St. Francis di Pretoria dari tahun 1999 hingga 2000 dan pindah ke Botswana untuk masa novisiatnya.
Sebelum mengikuti studi teologi, mendiang mengambil cuti selama satu tahun dari formasi imam untuk tinggal bersama dan mengajar para penambang di Negara Bebas Afrika Selatan. Dia kemudian melanjutkan studinya, bergabung dengan Seminari St. John Vianney yang berbasis di Pretoria, di bawah Stigmatines, untuk bidang teologi. Ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 2008.
Para Stigmatin kemudian mengirimnya ke Tanzania sebagai misionaris, di mana ia melanjutkan studi media dan komunikasi di Universitas Santo Agustinus Tanzania dari Konferensi Episkopal Tanzania yang berbasis di Mwanza.
Lindungi kehidupan manusia
Para Uskup juga meminta pemerintah Afrika Selatan untuk segera menghentikan kekerasan dan pembunuhan yang kerap terjadi. Sebaliknya, segera melindungi kehidupan manusia.
“Atas nama para uskup, saya mengimbau semua orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini untuk tidak berpikir bahwa mereka dapat melakukan apa pun yang mereka suka terhadap kehidupan masyarakat. Hidup adalah milik Tuhan, dan tidak seorang pun berhak mengambilnya sesuka hati,” kata Uskup Sithembele Sipuka dalam pernyataan itu seperti dilaporkan Catholic News Agency.
Para uskup mengecam pelanggaran hukum di Afrika Selatan, dan menanggapi pemerintahan Presiden Cyril Ramaphosa: “Mr. Presiden dan Menteri Kepolisian, terdapat kesan yang berkembang di kalangan masyarakat Afrika Selatan bahwa para penjahat dengan bebas membunuh warganya tanpa takut akan konsekuensinya.”
“Pengakhiran hidup seseorang secara sengaja tidak hanya berdampak pada orang yang dibunuh, namun juga seluruh jaringan hubungan orang tersebut,” lanjut pernyataan SACBC. “… Membunuh satu orang menimbulkan rasa sakit dan kesengsaraan bagi banyak orang.”
Pernyataan tersebut meminta pemerintah untuk menerapkan “langkah-langkah segera dan efektif untuk menjamin keamanan warga negara yang taat hukum yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka dan bagi para imam Katolik yang menghabiskan hidup mereka untuk melayani masyarakat di negara ini.”
“Kami mengimbau Anda untuk menjadikan kesejahteraan dan keselamatan umat kami sebagai prioritas utama,” kata para uskup. “Sebagai Gereja, kami siap membantu Anda berdiskusi dan menyusun strategi untuk menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah, yang kini menjadi pandemi di negara ini.” (Admin/CNA).