Dalam amanat perpisahan-Nya Yesus berkata kepada murid-murid-Nya,”Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.
Janganlah gelisah dan gentar hatimu. Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu. Sekiranya kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku. Dan sekarang juga Aku mengatakannya kepadamu sebelum hal itu terjadi, supaya kamu percaya, apabila hal itu terjadi.
Tidak banyak lagi Aku berkata-kata dengan kamu, sebab penguasa dunia ini datang dan ia tidak berkuasa sedikitpun atas diri-Ku. Tetapi supaya dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku, bangunlah, marilah kita pergi dari sini.” (Yohanes 14: 27-31).
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng.
“Damai sejehtara Kutinggalkan bagimu, damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu!” Itulah kata-kata Yesus dalam amanat perpisahanNya kepada para muridNya. Itulah juga kata-kata Yesus menjelang kita menyantap Tubuh dan darahNya dalam menerima Sakramen Ekaristi.
Damai dirasakan sesudah suatu permusuhan berakhir; sesudah dosa dan salah dihapuskan atau diampuni. Hal ini terjadi ketika kita yang terlibat dalam permusuhan itu menyadari bahwa bermusuhan atau berdosa itu membuat hidup kita tidak pernah aman, tenang, tenteram, damai dan bahagia.
Damai yang diberikan Tuhan adalah damai sejati. Damai yang berasal dari Allah Bapa, yang tidak pernah didapatkan dari dunia. Damai dari Tuhan menjadikan orang bersyukur dan bersukacita dalam segala hal dan keadaan, baik dalam suka maupun dalam duka.
Damai dari Tuhan mengikat para rasul (kita juga) untuk bertahan menghadapi segala tantangan dan cobaan hidup. Damai dari Tuhan (yang menetap dalam hati dan hidup kita) membebaskan kita dari rasa takut dalam melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan Allah yang dipercayakan kepada kita seberat apa saja pekerjaanNya.
Kita ingin hidup damai, aman, tenang, tenteram, penuh sukacita, kebahagiaan. Dan memang itulah tujuan yang ingin kita capai, rasakan, alami dalam hidup yang sementara ini. Kalau belum mencapai atau mengalami atau merasakan hal itu sampai saat ini di sini, itu berarti kita gagal total dalam menjalani, mengelola hidup ini.
Namun untuk sampai ke situ, dibutuhkan perjuangan, pengorbanan. Dibutuhkan sikap dan semangat cintakasih. Hidup saling mengasihi. Hidup dalam kasih. Beri yang terbaik dan terindah untuk Tuhan, sesama dan diri sendiri dan lingkungan alam ciptaan lainnya. Bukan hidup dalam permusuhan: dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri (yang membuat gelisah, tidak tenang, tidak damai, tidak bahagia).
Maka marilah dengan sadar dan rendah hati berjuang untuk berdamai dengan Tuhan, sesama, dan terutama dengan diri sendiri dan lingkungan alam ciptaan lainnya “saat ini juga di sini memang”. Jangan tunda! Nikmati hidup ini!
Pastikan saat ini, detik ini, menit ini, jam ini dan hari ini, kita menikmati hidup damai dan bahagia. Menerima Sakramen Ekaristi (Misa) Harian (fakultatif) dan wajib Hari Minggu dan Hari-hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu adalah kesempatan emas untuk berdamai dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri dan lingkungan alam ciptaan lainnya.
Semoga Allah Tritunggal Mahakudus (+) memberkati kita sekalian yang hidup Damai dengan Tuhan dan sesama dan diri sendiri dan lingkungan alam ciptaan lainnya. Amin.