Vera Inawati: Antara Veronika, Patung dan Generasi Hebat

TANGERANG,KITAKATOLIK.COM—Ketika para murid lainnya dan Petrus takut, menyangkal  dan  melarikan diri karena siksaan dan  kesengsaraan yang dialami Yesus dalam perjalanan menuju bukit Golgota, Veronika justru berani. Ia malah datang mendekat, menerobos massa dan menyapu wajah Yesus yang berlumuran darah.

“Veronika memiliki keberanian yang luar biasa. Dia berani menanggung resiko ditangkap dan turut disiksa.  Dia menerobos penjagaan dan menyapu wajah Yesus. Meski tindakannya kecil, keberaniannya itu perlu diteladani,” kata Vera Inawati, caleg DPRD Provinsi Banten dari Dapil 6 C yang meliputi Wilayah Kecamatan Cikupa, Panongan, Curug, Legok, Kelapa Dua, Padegadang dan Cisauk ini.

Sebagai penyandang nama babtis Veronika, lengkapnya Veronika Inawati, Vera bertekad mewujudkan kharakter ketulusan, pengasihan, keberanian dan berjuang untuk mereka yang menderita. Terutama dengan menjalankan tugas yang dipercayakan  dengan berani, tuntas dan maksimal.

“Kalau  dipercaya mengerjakan sesuatu, saya pasti mengerjakannya dengan tuntas dan maksimal. Dalam konteks politik, saya akan berjuang agar kemakmuran bersama atau bonum commune itu terwujud. Bila saya anggap sesuatu itu benar dan baik, saya akan berjuang sampai berhasil. Termasuk menyapu wajah duka dan luka dari orang-orang yang tertinggal dan menderita karena diskriminasi,” kata istri dari Benjamin D.H ini.

Prestasi akademis terbaik

Lahir 1969, Vera menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di SD, SMP dan SMA Regina Pacis,  Palmera Utara, Jakarta Barat. Tahun 1988, ia dinyatakan lulus test di Matematika dan Ilmu Pengetahuan (MIPA) UGM, tapi akhirnya memilih masuk Universitas Katolik Atmajaya, jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.

“Sebagai seorang wanita, suatu saat saya pasti menikah dan dikaruniai anak. Dan tanggung jawab utama pendidikan anak ada pada saya sebagai ibu. Nah, psikologi pendidikan dan bimbingan sangat mendukung peran sebagai pendidik utama dalam keluarga itu,” kata Vera mengungkap alasan pilihan jurusannya itu.

Di jenjang pendidikan yang lebih rendah – SD, SMP dan SMA –, Vera selalu meraih prestasi akademis yang sangat bagus, selalu juara. Demikian pula di Atmajaya. Ia lulus dengan predikat Cum Laude dan langsung ditawari untuk menjadi sekretaris Rektor Universitas Atma Jaya. Tapi karena panggilan orangtua, ia kembali ke Semarang dan membuka bimbingan belajar.

Tanggal 22 Januari 1995, Vera menikah dan memutuskan untuk menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga sambil mencari pekerjaan yang tidak mengganggu peran utamanya sebagai pendidik utama anak-anak.

Rosario dan patung

Tahun 1999, Vera membuka toko buku Metanoia di Blok M, Jakarta Selatan, bersama seorang temannya. Menurut ketentuan penerbit dan jaringan toko buku kristen itu, seluruh  toko buku Metanoia tak boleh menjual buku-buku atau benda-benda rohani yang bertolak belakang dengan keyakinan kristiani (Protestan). Termasuk yang dilarang adalah menjual patung atau benda-benda rohani Katolik seperti rosario.

Sebagai penganut Katolik yang taat, hati Vera bergejolak, ia menolak aturan tersebut.  Ia meminta manajemen di kantor pusat untuk mengijinkan tokonya menjual patung, rosario dan benda-benda kudus lainnya. Apalagi gereja yang terdekat dengan tokonya adalah Paroki Yohanes Penginjil, Kebayoran Baru, Blok B yang letaknya sepelempar batu jaraknya dari Blok M.

Perjuangannya berujung manis. Toko Metanoia yang terletak di Lantai V Blok M Plaza tersebut menjual semua buku rohani, baik buku kristiani maupun katolik, juga patung, rosario dan benda-benda rohani lainnya.

Seiring makin sepinya mal-mal di Jakarta, Vera akhirnya menutup toko bukunya dan kembali berusaha di bidang lain, tepatnya Klinik Kanker. Sayangnya tak bertahan lama, hanya dua tahun.

Untuk Indonesia hebat

Sementara menjalani usaha maupun mendidik ketiga putranya, Vera senantiasa mencurahkan waktu, mata, pikiran dan hatinya untuk dunia pendidikan.

Beberapa persoalan krusial dalam dunia pendidikan sudah digumuli umat Paroki Alam Sutera-Santo Laurentius, Tangerang, ini  sejak lama. Masalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS), salah satunya. Sejatinya, setiap sekolah, entah swasta pun negeri, berhak mendapatkan dana BOS. Tapi banyak sekolah swasta menolaknya. Mengapa?

Vera mencatat beberapa penyebabnya. Pertama, karena jumlah dana yang riil mereka terima tak sama dengan yang tertera dalam lembaran yang harus ditandatangani. Sudah ada banyak potongan. “Mereka menolak karena tidak terima penuh,” kata wanita kelahiran 1969 ini.

Tak jarang BOS diberikan dalam bentuk buku. Ini, kata Vera, mubazir bagi sekolah swasta. Tak terpakai karena mereka sudah memiliki buku dengan standar tersendiri.

Selain BOS, ada juga masalah ketidaktersediaannya tenaga pendidikan agama minoritas di sekolah negeri. Juga angka putus sekolah yang kian naik dan system zonasi yang masih amburadul.

Semua masalah itu memicu keprihatinannya dan mendorongnya untuk ambil bagian dalam penyelesaiannya. Berbagai jalur sudah ditempuh, dan kini ia memilih jalan politik.

Melalui jalur politik inilah, ia mengaku akan bisa lebih kuat memberikan dampak positif terhadap dunia pendidikan saat ini menuju Indonesia hebat. Ia sadar, semua kebijakan dibangun dengan cara politik. Dan untuk bisa menjadi pemangku kebijakan yang bisa memperjuangan dunia pendidikan di Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Tangerang, adalah menjadi anggota legislatif.

Itulah alasan Vera  terjun  dalam kontestasi Pemilu 2024 yang akan digelar pada 14 Pebruari mendatang. Ia maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) Provinsi Banten melalui kendaraan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ia mendapat nomor urut 8.

“Saya dari Dapil Kabupaten Tangerang 6 C yang meliputi wilayah Kecamatan Cikupa, Panongan, Curug, Legok, Kelapadua, Pagedangan dan Cisauk,” ujar umat Lingkungan  Paulus Rasul, Wilayah 6, Paroki Alam Sutera-Santo Laurentius ini. (Paul MG).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *