TANJUNGKARANG, KITAKATOLIK.COM–Peristiwa Agung Tahbisan Uskup Tanjung Karang Senin (1/5/2023) menghiasi jagat medsos. Peristiwa ini diawali dengan dikeluarkannya pengumuman resmi tanggal 17 Desember 2022 di akhir Perayaan Ekaristi oleh bapak Uskup Agung Palembang Mgr. Yohanes Harun Yuwono di Gereja Katedral Tanjung Karang.
Tahbisan ditetapkan tanggal 1 Mei 2023 di gereja Santa Maria Ratu Damai Tanjung Karang yang relatif sempit dan karena itu tidak banyak umat yang bisa hadir menyaksikan secara langsung di lokasi. Mgr. Yohanes Harun Yuwono sendiri menjadi Pentahbis Utamanya dengan dihadiri hampir semua Uskup termasuk Uskup Emeritus.
Beberapa umat sempat mengutarakan rasa sedihnya dan bertanya mengapa peristiwa langka seperti ini harus dilangsungkan di tempat sempit. Ada berbagai pertimbangan dan jawaban yang diperoleh dari berbagai kalangan. Tetapi ada suatu jawaban yang cukup mengejutkan yang datang dari pihak keluarga Mgr. Vincentius Setiawan Triatmojo atau Mgr.Avien.
Menurut tuturan pihak keluarga yang diwakili oleh kakak tertuanya yaitu ibu Yustina Muliawati –karena kedua orangtua sudah meninggal dunia–, ada semacam signal awal Peristiwa Agung ini belangsung.
Tiap malam berdoa rosario
Mgr. Avien ini adalah putera ke 3 dari 9 orang bersaudara. Semuanya masih ada. Ketika sang ibu mengandung Mgr. Avien berusia 3 bulan, seorang Pastor SCY bernama Markus Fortner memberkati kandungannya. Saat itu, entah bagaimana penglihatannya, Pastor Markus berujar, “anak ini nanti akan menjadi Pastor”!

Kata-kata ini ternyata menjadi motor yang menggerakkan hati orangtua Mgr. Avien untuk mulai setiap malam mendaraskan Rosario dengan ujud agar Tuhan mewujudkan apa yang sudah “dinubuatkan” Pastor Markus.
Ujud ini tanpa sepengetahuan Mgr. Avien hingga menjelang Ia ditahbiskan menjadi Uskup, kecuali diam-diam diestafetkan ke anak tertuanya, bu Titin. Karena orangtua meninggal dunia, ujud doa lalu diteruskan bu Titin sekeluarga bersama 7 adiknya yang lain.
Dengan berguguran air mata pengakuan ini pula disampaikan oleh Mgr. Avien sendiri saat menyampaikan sambutan. “Bapak dan ibu tidak jujur!”, kata Mgr. Avien. “Andaikata saya tau, saya tidak akan menerima tawaran ini. Ini tugas yang berat”., katanya terbata-bata sambil menyeka air mata dengan tissue. Ia bahkan “kabur-menyepi-menghibur diri” beberapa hari di Tangerang berkumpul bersama adik-adiknya.
Tapi Mgr. Avien mengaku, tak kuat untuk menolak, karena ini adalah doa bapak dan ibunya sendiri. Ketakberdayaan untuk menolak tanggungjawab ini juga karena ada pernyataan dari Duta Besar Vatikan, bapak. Mgr.Piero Pioppo, ketika Mgr. Avien dipanggil ke Kedutaan Vatikan di Jakarta untuk minta konfirmasi kesediaannya.
“Apakah Anda mencintai Gereja?”, tanya Nuncius. “Ya, saya mencintai!”, jawab Mgr. Avien. “Kalo begitu, Anda harus terima tanggungjawab ini!’. Mgr. Avien terdiam. Ia minta waktu untuk pikir-pikir. Tapi waktu yang diberikan hanya 15 menit. Air mata terus mengalir dalam 15 menit itu. Dan demi Yesus dan Gerejanya, juga karena kuasa doa bapak-ibunya, Mgr. Avien akhirnya “terpaksa” (ini pure manusiawi), menerima tanggungjawab ini.

Peristiwa ini jauh dari keinginan seorang Pastor untuk duduk di atas singgasana kekuasaan. Tetapi lebih mempelihatkan terjadinya sebuah mujizat dari kuasa doa dari orang-orang sederhana dari sebuah desa yang cukup terisolir kala itu yang dikenal kawasan berhutan, yang sering ditutupi kabut tebal, dengan di sana sini masih terdengar auman-auman harimau. Siapa Sangka, dari desa kecil ini, tumbuh banyak bibit panggilan (sudah menghasilkan kurang lebih 7 Pastor, 10 Suster dan 1 Uskup).
Dengan berderai air mata dalam Gereja St. Maria Ratu Damai ini, sambil memanggil adik-adik ibunya yang berhijab (buleknya) untuk maju ke depan dari atas balkon gereja, Mgr. Avien mengakui “mereka-mereka inilah yang saya sayangi sejak kecil. Mereka selalu memanggil “ibu” kepada ibu saya. Kami hidup berdampingan secara damai dan Ibu menjadi inspirasi untuk berbagi kasih kepada sebanyak mungkin orang”. “Mungkin itu juga yang menjadikan desa kami terpilih menjadi cikal bakal desa Pancasila”. Kisah yang mengundang tepuk tangan umat.
Anak bungsu jadi pastor
Inilah rangkaian mujizat ke-tiga yang terjadi karena kuatnya kuasa doa Rosario. Sesungguhnya sudah ada dua peristiwa lain juga terjadi karena kuasa doa Rosario dari orangtua Mgr. Avien.
Ketika usia bapak Mikael Sukidi dan ibu Maria Magdalena Sutarti –orangtua Mgr. Avien ini mulai menua, mereka tak henti berdoa Rosario agar diberi kesempatan bisa menyaksikan anak bungsunya ditahbiskan menjadi Pastor. Doa mereka pun terkabul. Mereka boleh menghadiri anak mereka RD Marcelinus Wisnu Wardana ditahbiskan di Jawa Barat. Kini Romo Marcel menjadi Sekretaris Uskup Keuskupan Bogor.
Satu permintaan lain yang juga dimohonkan melalui Doa Rosario adalah supaya mereka bisa merayakan Usia 50 tahun Perkawinan mereka. Dan itu pun terwujud.
Merefleksikan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam keluarga Mgr. Avien, sebagai anak-anak Bunda Maria, kita akhirnya harus mengakui, seperti Santo Yokobus dalam suratnya (Yakobus 2:16b), “Doa orang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya”.

Bukan sesuatu kebetulan kalau hari tahbisan persis jatuh pada tanggal 1 Mei, karena ini menjadi awal Bulan Maria dimana umat Katolik menghormati Bunda Maria melalui rangkaian Doa Rosario. Juga bukan kebetulan bahwa lokasi tahbisan harus berlangsung di Gereja bernama Gereja Santa Maria Ratu Damai yang kecil yang tidak bisa menampung banyak umat. Ini justru merefleksikan sosok Mgr Avien yang rendah hati seperti sosok Bunda Maria yang rendah hati yang menjunjung tinggi kedamaian untuk menyokong persatuan dan kesatuan umat dan masyarakat yang majemuk.
Bersama keluarga Mgr Avien mari kita menangkap karya besar Tuhan dalam peristiwa ini sehingga tak henti melambungkan syukur dan menjadi fokus dalam keseharian kita. Tuhan memberkati. (Markus Keo).