Dr. Inosentius Samsul, SH.,M.Hum, Mantan Calon Pastor di Dapur Legislasi Nasional

KITAKATOLIK.COM—Rabu (14/10/2020) menjadi hari istimewa bagi Dr. Inosentius Samsul, SH.,M.Hum. Setelah melewati serangkaian ujian seleksi yang ketat disertai banyak pertimbangan strategis, putra pertama dari delapan anak dari Guru Gerardus Ugar dan mama  Anastasia Ginang, ini dilantik sebagai Kepala Badan Keahlian Setjen DPR RI.

Jabatan yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden ini tergolong dalam eselon 1A, jenjang tertinggi dalam hirarki jabatan struktural. Jadi boleh dikata, pada hari itu, pria kelahiran Pembe, sebuah kampung di desa Rana Mese, Kecamatan Congkar, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, 10 Juli 1965, ini mencapai puncak karier yang telah dijalaninya selama 30 tahun lebih di lingkungan kesekretariatan DPR RI.

Sebagai Kepala Badan Keahlian, Sensi, begitu ia biasa disapa, membawahi lima pusat keahlian untuk mendukung kelancaran pelaksanaan dan tugas DPR. Pertama Pusat Perancangan UU yang bertugas menyiapkan naskah akademik. Kedua, Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU dengan tugas mengevaluasi Undang-undang dan menyiapkan keterangan DPR untuk sidang di MK. Berikut Pusat Kajian APBN yang bertugas membuat kajian dalam penyusunan APBN. Keempat, Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara dengan tugas melakukan kajian terhadap temuan BPK. Dan yang terakhir Pusat Penelitian yang bertugas melakukan penelitian.

”Ini memang peran strategis. Sebagian besar  konsep terkait perundang-undangan yang diusulkan DPR RI berasal dari sini,” kata pemimpin dari kurang lebih 280 personil yang berkarya di lembaga keahlian Setjen DPR ini. Ditambah lagi 189 personil yang merupakan tenaga ahli komisi.

Sebagai pimpinan yang baru, ia langsung  menetapkan tagline untuk lembaga ini, yaitu  ”Bridging The Research  to The Role and Functions of Parliement”.

”Setelah 30 tahun, saya rumuskan peran spesifik dari lembaga kami ini. Yaitu menjembatani dunia riset atau akademis dengan aktivitas politik,” katanya. Untuk merealisasikan visinya itu, pihaknya gencar melalukan kerjasama penelitian dengan banyak Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta. Di internal, banyak riset juga dilakukan agar setiap kebijakan yang diambil DPR itu tak hanya melayani kepentingan politik, tapi juga berdasar pada kebenaran teoretis dan empiris. Kerennya disebut  evidence based policy making.

Wadah pemikir

Segera setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Hukum Tata Negara pada November 1989, Sensi sempat mengikuti test dan lolos di beberapa Perguruan Tinggi untuk posisi dosen. Tapi karena beberapa pertimbangan, ia akhirnya ke Jakarta. Lolos dalam test bahasa Inggris, ia diterima dan mengikuti test lanjutan untuk posisi tenaga ahli Setjen DPR RI.

Maret 1990, bersama 15 kawan yang berasal dari berbagai universitas ternama di Indonesia, Sensi digodok dan dipersiapkan oleh 15 orang dosen UI untuk menjadi bagian dari  wadah pemikir atau think tank dari DPR RI. Dengan biaya dari Asian Foundation, para dosen itu diberikan waktu lima tahun untuk mempersiapkan Sensi cs.

Nah, dari 1990 hingga 1995, Sensi menjadi staf Sekretariat Jenderal DPR-RI. Lalu, dari 1995 hingga 2015, ia menjabat Peneliti Bidang Hukum Setjen DPR-RI dengan jabatan terakhir Peneliti Madya bidang hukum dengan pangkat IVC. Tahun 2015 hingga 2020, ia menjadi Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR-RI. Dan sejak 2020, dilantik jadi Kepala Badan Keahlian.

Selama itu, Sensi mendapatkan banyak kesempatan untuk meningkatkan kapasitas profesionalnya. Tahun 1995, ia belajar Hukum Ekonomi dengan konsentrasi Perdagangan Internasional di Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta. Sementara S3 dalam bidang Hukum Ekonomi diambil di Universitas Indonesia dengan disertasi tentang Perlindungan Konsumen. Saat melakukan penelitian kepustakaan di Amerika, ia ditugaskan mempelajari Kode Etik parlemen yang nantinya bisa diterapkan di parlemen Indonesia.

Selain itu, ia juga mengikuti beberapa training  yang sangat menunjang pengabdiannya, baik di dalam maupun luar negeri. Tahun 1993 misalnya, ia ke New Dehli, India mengikuti Parliamentary Internship Programme. Juga ke Australia, Amerika Serikat dan Polandia. Ke Polandia pada tahun 2010, ayah tiga orang anak ini mengikuti Parliamentary Supporting System Workshop pada tahun 2010.  

Selain di DPR-RI, pria yang di masa mudanya gemar bermain sepakbola, ini juga aktif sebagai pengajar di beberapa Perguruan Tinggi, seperti Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Universitas Mahendradatta, Bali, Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila. Kesibukannya makin bertambah oleh keterlibatannya sebagai Konsultan Program Bank Dunia dan United Nations Development Programme (UNDP).

”Sudah sejak 30 tahun lalu saya berada di Setjen DPR-RI. Kami direkrut pertama dan saya menjiwai semua peran saya di situ. Saya berada di sana dan memberikan diri secara utuh di sana demi merah putih,” kata Sensi.

Kompetisi sengit, kata dia, memang  sering terjadi, tapi atas penyelenggaraan ilahi, ia tetap bertahan dan naik ke posisi yang lebih tinggi karena selain memiliki keahlian profesional, ia juga memiliki kecerdasan emosional dan kualitas kepemimpinan yang bagus.

Calon pastor

Kualitas kepemimpinan yang bagus sudah dipupuknya sejak belajar di Seminari Menengah Santo Pius ke-XII Kisol, Flores Barat. Pada tahun 1978, bersama 77 rekan lainnya, Sensi masuk sekolah calon imam ini karena kedekatannya dengan beberapa pastor yang bertugas di parokinya.

Tuntutan nilai akademis yang tinggi memaksa para siswa untuk terus meningkatkan kualitas  intelektual mereka dengan disiplin belajar yang ketat. Nilai mata pelajaran harus tinggi. Siswa yang hanya mendapatkan nilai 6 akan segera dikeluarkan, tak peduli kualitas pribadi lainnya. Beberapa kali Sensi berada di peringkat 5 besar di kelasnya dan pernah pula menjadi juara kelas.

Kelas 3 SMP, ia didaulat sebagai Ketua Umum SMP Seminari. Tugasnya antara lain membangunkan para siswa di pagi hari, menjaga ketertiban dan menjembatani kepentingan siswa dan para pembina dalam hal ini para pastor dan frater.

”Saya harus menangani beberapa anak seminari yang bandel-bandel,” kata Sensi yang pernah juga dipilih sebagai wakil OSIS SMA. ”Itu kesempatan untuk menguji leaderhip saya,” katanya.

Tak melanjutkan ke Seminari Tinggi, Sensi memillih Yogya sebagai tempat menempa diri. Di kota pelajar tersebut, dia bersama teman-teman  mendirikan Pusat Studi Puspita Amal Ilmiah yang menggelar studi-studi intelektual dan sering melibatkan para tokoh lintas agama dan keilmuan seperti Amin Rais, Hans Daeng, Mohammad Fajrul Falaak dan masih banyak lagi. Di lembaga ini ia pernah dipercaya sebagai sekretaris.

Selain di pusat studi, Sensi juga terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan Kampus. Bahkan melalui kompetisi yang sengit, ia pernah  terpilih  sebagai Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sembari aktif di lingkaran lintas agama, Sensi juga aktif di lingkungan pemuda gereja. Bahkan ia pernah didaulat sebagai ketua MUDIKA (Muda-mudi Katolik) St.Philips, Karangmalang,  Mrican, Yogyakarta. Uniknya, keanggotaan kelompok MUDIKA ini tidak terbatas pada wilayah paroki saja. ”Siapa saja yang mau datang ke situ, ya diterima. Kita kumpul dan buat kegiatan-kegiatan rohani,” katanya. Dalam wadah MUDIKA itulah ia dipertemukan dengan Yulita Rintyastini, pendamping hidupnya.

Bersama anggota keluarga inti

Pantulan Orangtua

Menikah pada tahun 1988, Sensi telah dikaruniai tiga orang anak dan satu orang cucu. Pendidikan menjadi bekal atau investasi utama yang diwariskannya kepada putra dan putrinya. Anak sulungnya Mikhael telah menjadi pengacara setelah menyelesaikan S2 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Putri pertamanya Grace telah selesai menempuh Pendidikan Magister  dalam bidang notariat, juga di UI. Sementara putri bungsunya Cita, masih duduk di bangku SMP.

“Saya tidak mewariskan harta kepada kalian. Yang kami kasih adalah Pendidikan yang bagus.   Pendidikan lebih abadi. Harta bisa hilang,” katanya selalu kepada putra dan putrinya.

Banyak nilai telah terwariskan dan dihidupi oleh anak-anaknya seperti kerendahan hati, kepedulian terhadap sesama, terutama sesama yang kurang beruntung nasibnya. Dan juga kehidupan rohani yang kuat.

“Anak-anak itu memantulkan nilai dan kebiasaan positif yang ada dalam diri orangtua mereka. Nah, kita senang karena mereka bisa menghadirkan diri mereka sendiri yang mengekspresikan nilai-nilai positif yang ada pada kami,” ujar umat Paroki Curug,  Santa Helena, Tangerang ini. (Paul MG)

 

 

 

.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *