VATIKAN,KITAKATOLIK.COM—HARI ini, Kamis (5/1/2022), Paus Emeritus Benediktus XVI akan dimakamkan di makam kepausan yang berada di bawah St Peter’s Basilica atau Basilika Santo Petrus, Vatikan. Upacara pemakaman akan dipimpin langsung oleh Paus Fransiskus.
Paus Benediktus menjadi salah seorang pemikir dan teolog terkemuka dalam sejarah gereja katolik. Pandangannya banyak mewarnai ajaran-ajaran gereja, terutama terkait iman dan kesusilaan.
Joe Bukuras menuliskan di Catholic News Agency (2/1/2023) menulis lima permenungan Paus Emeritus Benediktus XVII yang tersiar melalui tulisan maupun kotbah-kotbahnya.
Pertama, iman lebih dari “persetujuan intelektual”
Dalam audiensi Rabu di Lapangan Santo Petrus, Rabu (24/10/2012), Bapa Suci menegaskan bahwa iman merupakan karunia Allah, tetapi juga merupakan tindakan yang sangat bebas dan manusiawi
Sementara saat berbicara tentang iman dalam “Tahun Iman” — yang berlangsung dari Oktober 2012 hingga November 2013 — Benediktus menegaskan bahwa iman bukan sekedar persetujuan intelektual.
“Iman bukanlah sekadar persetujuan intelektual dari pribadi manusia terhadap kebenaran khusus tentang Allah. Iman merupakan tindakan yang dengannya saya mempercayakan diri saya dengan bebas kepada Tuhan yang adalah Bapa dan yang mencintai saya. Iman adalah kepatuhan pada ‘Kamu’ yang memberi saya harapan dan kepercayaan,” katanya.
Kedua, iman adalah bertemu dengan Tuhan
Dalam audiensi hari Rabu yang sama itu, Benediktus menambahkan bahwa “Dengan demikian, memiliki iman adalah bertemu dengan ‘Engkau’ ini, Tuhan, yang mendukung saya dan memberi saya janji akan cinta yang tak terhancurkan yang tidak hanya mendambakan keabadian tetapi juga memberikannya. Iman berarti mempercayakan diri saya kepada Tuhan dengan sikap seorang anak, yang tahu betul bahwa semua kesulitannya, semua masalahnya dipahami dalam ‘kamu’ ibunya.
Diselamatkan melalui iman, kata Benediktus, adalah anugerah yang Allah tawarkan kepada semua orang.
Dalam renungannya, dia mengajak orang banyak untuk bertanya pada diri mereka sendiri “di manakah manusia dapat menemukan keterbukaan hati dan pikiran untuk percaya kepada Allah yang membuat dirinya terlihat dalam Yesus Kristus yang mati dan bangkit, untuk menerima keselamatan Allah sehingga Kristus dan Injilnya dapat menjadi pemandu dan cahaya keberadaan kita?”
Benediktus menjawab: “Kita dapat percaya kepada Tuhan karena Dia datang dekat dengan kita dan menyentuh kita, karena Roh Kudus, karunia dari Yang Bangkit, memampukan kita untuk menerima Tuhan yang hidup. Jadi iman pertama-tama adalah karunia adikodrati, karunia Allah.”
Ketiga, iman Santa Perawan Maria
Bagaimana Bunda Allah menjalani hidupnya dengan penuh iman, mengingat semua cobaan yang harus ia tanggung sepanjang hidupnya? Inilah tepatnya pertanyaan yang diajukan Benediktus kepada orang banyak dalam audiensi hari Rabu pada 19 Desember 2012, di Aula Audiensi Paulus VI Vatikan.
Dia menjawab dengan memberikan contoh Injil Lukas pasal pertama, di mana Maria “merefleksikan” dan “merenungkan” salam Malaikat Gabriel kepadanya.
“Maria merenung, dia merenungkan arti sapaan ini,” katanya. “Kata Yunani yang digunakan dalam Injil untuk mendefinisikan ‘refleksi’ ini, ‘dielogizeto’, mengingatkan etimologi dari kata ‘dialog.'”
Dia menambahkan: “Ini berarti bahwa Maria masuk ke dalam percakapan yang mendalam dengan Sabda Allah yang telah diberitakan kepadanya, dia tidak mempertimbangkannya secara dangkal tetapi merenungkannya, membiarkannya meresap ke dalam pikiran dan hatinya untuk memahami apa Tuhan menginginkannya, arti dari pengumuman itu.”
“Maria tidak berhenti pada pemahaman dangkal pertama tentang apa yang terjadi dalam hidupnya, tetapi dapat melihat secara mendalam, dia membiarkan dirinya dipertanyakan oleh peristiwa, mencernanya, membedakannya, dan mencapai pemahaman yang hanya dapat disediakan oleh iman,” katanya.
“Ini adalah kerendahan hati yang mendalam dari ketaatan iman Maria, yang menyambut di dalam dirinya bahkan apa yang tidak dia pahami dalam tindakan Tuhan, menyerahkannya kepada Tuhan untuk membuka pikiran dan hatinya.”
Keempat, Iman merupakan bukti dari hal-hal yang tidak terlihat
Dalam Ensikliknya tahun 2007 Spe salvi, Benediktus menggambarkan hubungan yang luas antara kebajikan iman dan harapan. Dalam subjudul pertama ensiklik, Benediktus mengatakan bahwa iman adalah harapan.
“Iman bukanlah sekadar upaya pribadi untuk menjangkau hal-hal yang akan datang yang masih belum ada sama sekali: iman memberi kita sesuatu. Iman memberi kita bahkan sekarang sesuatu dari kenyataan yang kita tunggu-tunggu, dan kenyataan sekarang ini bagi kita merupakan ‘bukti’ dari hal-hal yang masih belum terlihat.
Iman menarik masa depan ke masa kini, sehingga tidak lagi sekadar ‘belum’. Fakta bahwa masa depan ini ada mengubah masa kini; saat ini disentuh oleh realitas masa depan, dan dengan demikian hal-hal di masa depan tumpah ke masa kini dan masa kini ke masa depan.”
Kelima, iman yang tidak menghasilkan buah
Dalam motu proprio Porta fidei Benediktus 2011, dia menulis tentang pentingnya amal dan hubungannya dengan iman. “Iman tanpa kasih tidak menghasilkan buah,” tulis Bapa Suci, “sementara kasih tanpa iman akan menjadi perasaan yang terus-menerus berada di bawah belas kasihan keraguan.”
“Iman dan amal saling membutuhkan satu sama lain, sedemikian rupa sehingga masing-masing memungkinkan yang lain untuk menempuh jalannya masing-masing. Memang, banyak orang Kristen mendedikasikan hidup mereka dengan cinta kepada mereka yang kesepian, terpinggirkan, atau dikucilkan, seperti kepada mereka yang pertama kali menuntut perhatian kita dan yang paling penting untuk kita dukung, karena di dalam diri mereka refleksi wajah Kristus sendiri terlihat.
Melalui iman, kita dapat mengenali wajah Tuhan yang telah bangkit pada mereka yang meminta cinta kita.” (Admin/CNA).