Metamorfosis Yohanes Wou Sebo: Dari Satpam ke Pebisnis Batubara, Berkat Doa

KITAKATOLIK.COM.—“Doakanlah pekerjaanmu dan kerjakanlah doamu!” Itulah salah satu prinsip dasar yang telah dijalankan oleh Yohanes Wou Sebo. Mirip dengan adagium Latin “ora et labora” prinsip ini mewarnai jejak-sejak langkah kehidupan pria yang biasa disapa Joni ini.

“Saya selalu memulai rencana-rencana pekerjaan saya dengan doa dan selalu berusaha mengerjakan apa yang menjadi bagian atau tanggung jawab saya dengan sungguh-sungguh sehingga rencana itu terwujud,” kata suami dari Yuliana Keo ini.

Ia memberikan contoh,  saat masih sekolah, apalagi pada musim ujian, dalam doa  ia selalu meminta pertolongan Tuhan agar lulus dalam ujian. Seiring dengan itu, ia juga rajin belajar, baik belajar privat maupun kelompok.  “Saya tidak bisa hanya berdoa setelah itu selesai. Tapi juga belajar sungguh-sungguh dan ini merupakan bagian yang harus saya kerjakan,” jelas pria kelahiran Nunupada, Waebela, Aimere, Ngada, Flores, NTT, 16 Juni 1971,  ini.

“Dalam bindang-bidang lain pun demikian. Kita harus berdoa dan juga mengerjakan apa yang kita doakan itu,” tambah ayah  lima orang anak yang kini menekuni bisnis batubara ini.

Dari Satpam hingga Pebisnis Batubara

Jejak langkah Joni penuh perjuangan. Setelah tamat di SMP Katolik Jaramasi Waebela, angkatan pertama, Joni melanjutkan sekolahnya di SMAN 435 Bajawa. Karena angkatan pertama, ritme belajar pun masih belum stabil. Akibatnya pengetahuan siswa sangat terbatas.

“Di SMAN 135 saat itu mulai diterapkan CBSA, cara belajar siswa aktif. Karena ketinggalan pendidikan di SMP, saya menjadi yang terbelakang dari teman-teman. Saya termasuk rata-rata ke bawah,” katanya.

Tapi dia tidak patah arang. Ia terus berjuang mengejar ketertinggalannya.  Karena ingin mengatur waktu lebih leluasa, terutama untuk belajar lebih maksimal, ia memutuskan mengontrak rumah pada tahun kedua, setelah sebelumnya tinggal di rumah keluarga.

Tamat SMA, ia sempat “istirahat” setahun di luar. Ayahnya ingin dia melanjutkan studi di daratan Flores atau paling jauh Kupang, tapi dia memilih ke Jawa.  “Saya ngotot ke Jawa karena saat itu, rata-rata orang yang tamat dari Perguruan Tinggi di Jawa punya peluang karier yang lebih besar. Saat itu ya. Sekarang mungkin sudah lain,” katanya.

Nah, untuk mengisi waktu setahun itu, ia melanjutkan kebiasaan masa kecil,  sehari-hari ia melaut. “Dari kecil saya sudah biasa bekerja sebagai nelayan. Tangkap ikan terbang, tuna, sampai ke tengah laut dengan sampan.” Ikan tersebut lalu dijual.

Setelah uang terkumpul, ia pun berangkat ke Yogyakarta. Mencoba test masuk jurusan pariwisata di sebuah Sekolah Tinggi Pariwisata di Yogyakarta karena ingin bekerja di kapal pesiar, Joni tak beruntung.

“Kau jangan putus asa. Ambil hukum di Atmajaya Yogyakarta saja. Tapi kalau kau mau lulus, kau harus ikut saran saya. Kalau kau ikut aturan saya, pasti lulus,” kata Abang sekaligus kerabatnya Damianus Bilo Djawa,  menguatkan hatinya.

Damianus mengumpulkan semua soal ujian tiga tahun terakhir dan meminta Joni mempelajari dan mengerjakan semuanya. Selain makan, ke kamar wc dan gereja, Joni diharuskan tetap belajar dalam kamar.

Resep Dami manjur. Joni lulus dan masuk Fakultas Hukum Atmajaya. Itu sebuah prestasi, sebab beberapa tahun sebelumnya, tak ada calon mahasiswa asal Flores yang lolos seleksi di Fakultas Hukum Atmajaya, Yogyakarta tersebut.

Sayangnya, hanya satu semester dia belajar disitu, gara-gara dituduh telah melecehkan “kewibawaan” seorang dosen senior.

Berhenti kuliah, Joni memutuskan merantau ke Jakarta. Bersama Nus Betu “Mataraga”, ia ke Jakarta ditemani Siprianus Bate Soro. Sempat tinggal di rumah kenalan, Joni ikut kapal Nila 3, sebuah kapal penangkap ikan yang dinahkodahi Robert Raro. Kapal yang selalu berlabuh di Muara Baru, Jakarta ini, menangkap ikan tuna di laut sekitar pulau Sumatera dan kemudian dieksport ke Jepang.

Setahun lebih dia di kapal. Kemudian, Om David Kadha mengantarnya ke Lippo Plaza, Sudirman. Setelah mengikuti test dan lulus, ia mulai bekerja di situ selama kurang dari dua tahun, dengan gaji Rp. 185 ribu/bulan. Dengan lembur bisa mencapai Rp. 230 ribu.

Dari situ ia pindah lagi ke peternakan burung unta di wilayah Parung, Bogor. Dua tahun pertama ia jadi satpam. Lalu jadi supervisor. Tapi karena krisis moneter, perusahaan tersebut mengalami banyak kesulitan dan karyawan diminta mengundurkan diri dengan pesangon.

Ia memilih mundur dan sempat pulang ke Flores. Kembali ke Jakarta, pria bertubuh subur ini menekuni pekerjaan lamanya sebagai sekuriti di Sunter Mall, Jakarta Utara.

Setelah berkarier sebagai Satpam selama 11 tahun, di tahun 2004, sohibnya Heru Leba, mengajaknya bergabung di PT. Bara Indah, sebuah perusahaan yang bergerak dalam  bisnis batubara. Ia masuk 2 Juni  2004 dan ditempatkan di bagian operasional.

“Saya diterima di posisi itu mungkin karena Bos mempertimbangkan bakat bisnis saya. Saat interview, saya katakan padanya bila sejak kecil saya sudah biasa tangkap dan menjual ikan. Saat musim ayam, saya beli dan jual ayam. Begitu pun saat sebagai sekuriti, saya suka jual pakaian atau sepatu,” cerita Joni.

Tugas pertamanya adalah menerima barang (batubara) dan menyimpannya di stocker (tempat penyimpanan). Lalu ketika terjadi jual-beli, tugasnya adalah mengawasi keluaran barang. Ia bekerja dengan berpegang teguh pada SOP (Standart Operating Procedure).

Joni menekuni dunia kerjanya yang baru dengan penuh antusias. Hari lepas hari, dia terus belajar tentang seluk beluk bisnis batubara.  Seiring perkembangan perusahaan, Joni pun ikut berkembang. Seluk-beluk bisnis batubara makin dikuasainya.

“Orangtua bilang, ala bisa karena biasa. Sehari selembar benang, lama-lama jadi kain. Belajar dari hal yang kecil. Kalau kita mau belajar, apapun resiko, akan kita atasi. Kalau tidak mau belajar, kita akan jadi begitu-begitu saja,” kata Joni.

Lima tahun bekerja di PT. Bara Indah dengan posisi terakhir sebagai Manager Operasional, Joni memutuskan keluar. Keputusan itu tak muncul tiba-tiba, tapi telah melewati pergumulan yang panjang,  terutama di setahun terakhir.

“Selama ini saya kerja selama 30 hari sambil menunggu gaji yang tidak seberapa di akhir bulan.  Padahal kontribusi saya untuk perusahaan sangat signifikan. Saya sudah bekerja dengan baik dan sudah turut membesarkan perusahaan ini. Dari kecil kala saya masuk, sekarang sudah jadi besar. Kalau terbukti saya bisa membesarkan usaha orang lain, kenapa saya tidak memulai usaha saya sendiri?”

Ia berada dalam proses perubahan paradigma, dari paradigma karyawan ke pebisnis. Sebelum mengambil keputusan, ia berdoa. “Bila Engkau berkenan, bila Engkau mengijinkan saya memulai usaha saya sendiri, tolong tunjukkan saya jalan,” pintanya.

Sebagai manajer operasional, Joni memegang peran kunci dalam perusahaan itu. Ia yang selama ini berhubungan intens dengan para pelanggan. Ia menguasai jenis-jenis dan kualitas batubara. Juga seluk-beluk pemasarannya. Kepergiannya tentu akan sangat mengganggu gerak maju perusahan.

Pemilik perusahaan berusaha menahannya dengan menawarkan gaji yang belipat ganda. Ia juga boleh cuti berbulan-bulan sambil menikmati gaji penuh. Tapi Joni tetap pada pendiriannya. Pemimpin perusahaan akhirnya merestui kepergiannya dengan harapan suatu saat Joni kembali lagi.

“Perusahaan membuka pintu lebar-lebar, bila kamu kembali. Kapan saja kamu kembali, kami akan terima,” kata mereka sambil memberikan uang pesangon sebesar Rp. 70 juta dan cek sebesar Rp. 100 juta sebagai hadiah dari kedua Bos-nya.

Joni masuk PT. Akselindo sebagai partimer marketing. Selain memiliki kebebasan waktu,  penghasilannya pun berlipatganda, hingga bisa membeli rumah kedua di kawasan bergengsi di wilayah Tangerang. Selain pelanggan dari perusahaan lama, ia juga mendapatkan beberapa klien baru.

Sebelas bulan kemudian, ia kembali ke perusahaan yang lama, tapi bukan di batubara tapi nikel. Dengan lokasi operasi di Kolaka, Sulawesi Selatan, Joni mendapatkan gaji berlipat kali.

Kini Joni tidak terikat bergabung dengan perusahaan mana pun. Posisinya adalah mitra dari para pebisnis batubara. “Saya jual jasa di bidang operasional sama marketing. Saya free lance di lima perusahaan.

Indah pada waktunya

 Tahun 2004, untuk pertama kalinya Joni naik pesawat ke Kalimantan. Dalam pesawat, dia menangis dan berdoa, “Tuhan, kecil atau besar, cepat atau lambat, tolong kasih saya gubuk.” Ya, memperoleh rumah sendiri, rupanya menjadi satu-satunya impiannya saat itu.

Ketika ia hidup bersama Tuhan, dan tetap dalam Tuhan, semua yang diharapkan terpenuhi. “Jangan pernah bilang Tuhan tidak adil. Kalau kita hidup bersama Tuhan, dalam situasi apapun ,kita akan dilindungiNya. Segala permohonan kita pasti dikabulkan, pertimbangannya cuma soal waktu. Tuhan menolong tepat waktu. Semuanya indah pada waktunya.”

Seiring waktu, Joni pun ikut dalam even kultural yang digelar di ibukota Negara. Tak hanya sebagai partisipan biasa, tapi juga sempat dipercaya sebagai koordinator. Pada tahun 2016, ia dipercaya sebagai Ketua Panitia Pelaksana Reba Ngada Jakarta di Taman Mini Indonesia ini. Pagelaran adat yang digelar tiap tahun sejak lima tahun lalu ini menyedot animo publik Jakarta dan sekitarnya.

Beberapa bulan lalu, Joni telah merislis beberapa lagu ciptaannya dengan bantuan aransemen Nube Mataraga.  Antara lain “Flobamora”,  “Sao Ngada Ine Sina”, “Ngape-Ngape”, “Fedha Jai”, “Dhegha-Dhegha”,  dan “Nara Bheghe Weta”.   Selain lagu “Flobamora” yang dinyanyikan oleh Rini Lame dan lagu “Nara Bheghe Weta” yang dinyanyikan Marsel Muja, beberapa lagu ciptaannya yang tergabung dalam Falemeku Chanel itu dinyanyikannya sendiri. (Admin)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *