KITAKATOLIK.COM—Setia sampai mati adalah janji suci perkawinan pasangan katolik di hadapan Tuhan. Tapi dihadapkan dengan fakta tingginya tingkat perceraian, sumpah “Satu hingga ajal menjemput – Till die we be one!” tentu akan menjadi sumpah yang membutuhkan enerji dan perjuangan yang keras untuk merealisasikannya.
Di kalangan kristiani, di luar katolik tentunya, fenomena perceraian bukanlah tabu lagi. Bahkan ada beberapa oknum pendeta yang dengan alasan psikologis-fenomenologis –- dari pada keduanya berjalan dalam getir dan saling cekcok sepanjang perjalanan bersama mereka — mengijinkan terjadinya perceraian dan bersedia memberkati “pernikahan kedua” dari pasangan tersebut. Sementara ada juga Pendeta, yang istrinya kini adalah hasil perkawinan keduanya.
Tak heran bila umat awam pun bertanya, apakah prinsip ketakterceraian perkawinan itu bersifat mutlak atau situasional, kasuistis dan “bisa dinegosiasi”?
Mutlak tak terceraikan
Di Katolik, peluang bercerai, apapun alasannya, tak diperbolehkan. Menurut pastor Jeremias Balapito MSF., tidak ada alasan apapun yang mengijinkan perceraian.
“Mungkin secara sipil dia bisa cerai, tapi secara Gereja dia tidak bisa. Dan dia tidak bisa kawin lagi secara gerejani. Mungkin kalau dia pindah agama lain bisa, tapi selama dia masih anggota Gereja Katolik, dia tidak mungkin menikah lagi,” kata mantan Sekretaris Komisi Kesejahteraan Keluarga KWI ini.
Menurut lulusan Universitas Lateran, Roma dengan spesialisasi di bidang perkawinan dan keluarga ini, prinsip ketakterceraian perkawinan tersebut berlandaskan pada hakekat perkawinan itu sendiri yang ”satu dan kekal”. Sifat atau ciri ”satu dan kekal” ini, menurut dia, bukan buatan gereja tapi yang diturunkan langsung oleh Tuhan.
Secara filosofis dia menjelaskan bahwa manusia itu mempunyai tujuan di dalam dirinya sendiri. Dia tidak boleh dijadikan alat atau sarana untuk tujuan orang lain.

“Jadi suami, misalnya, tidak boleh memperalat pasangan untuk kebahagiannya. Kalau ia bercerai dan kemudian menikah lagi karena isteri tidak memberikan keturunan misalnya, berarti ia telah memperlakukan isterinya sebagai alat melahirkan keturunan belaka,” jelas dia.
Dan tujuan dari perkawinan, seperti juga diamanatkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, adalah membentuk kehidupan keluarga yang langgeng dan bahagia.
“Itu membutuhkan keterlibatan atau komitmen yang bersifat seumur hidup. Bayangkan bila kita menikah untuk 7 atau 8 tahun saja lalu kita katakan good bye my baigon, orang tidak akan punya komitmen dan keterlibatan yang total. Jadi orang hanya setia waktu duitnya masih banyak, misalnya,” urainya sambil menegaskan pula bahwa demi martabat manusia dan komitmen untuk seumur hidup, paling efektif kalau hubungan pernikahan itu menjadi suatu hubungan yang total seumur hidup.
Dihadapkan dengan pernyataan bahwa “untuk apa bertahan, bila mereka tidak merasakan kebahagiaan perkawinan, bahkan tersiksa di dalamnya?”, pastor Jeremias menegaskan bahwa kebahagiaan perkawinan itu bukan sesuatu yang gratis dan diberikan dari langit. Kebahagiaan itu harus diperjuangkan seumur hidup.
“Perkawinan tidak mendatangkan kebahagaiaan bila salah satu pihak inginnya hanya mau dibahagiakan, supaya pasangan menyesuaikan diri dengannya, dan bukan dia yang menyesuaikan diri. Ini yang bisa merepotkan,” katanya.
Tidak diakui gereja
Karena itu, demikian Jeremias, gereja Katolik tidak mengakui adanya perceraian. Memang dalam situasi tertentu, mungkin demi amannya, salah satu pasangan bisa berpisah secara sipil. Tapi Gereja tidak mengakui adanya perceraian.
“Ya, secara manusiawi, hukum, adalah lebih baik bila Anda mengajukan perceraian. Tapi keputusan itu tidak diakui oleh gereja, sehingga Anda juga tidak bisa menikah lagi,” katanya.
Kalaupun ada yang nekad menikah lagi, demikian Jeremias, keduanya boleh dikatakan melakukan “kumpol kebo”. “Di mata masyarakat mungkin dianggap sudah nikah sipil, tapi di gereja tidak diakui.”
Bermula dari egosime
Sementara mengenai akar atau penyebab perceraian, Jeremias menyebut egoisme sebagai pemulanya.
“Dulu, di jaman orang tua kita, perceraian terjadi karena masalah ekonomi, karena tidak bisa mencukupkan kebutuhan keluarga. Tapi sekarang, ketika orang itu sudah mapan secara ekonomis dan status sosial, perceraian juga terjadi. Jadi kemapanan ekonomi menjadi alasan perceraian. Secara ekonomis, mereka merasa bahwa kebutuhan mereka sudah terpenuhi, tapi secara emosional tidak terpenuhi. Sekarang ini orang hanya tahu take, take dan take. Tidak pernah give, give and give,” katanya. (Paul MG)