Sekali peristiwa, Yesus mengatakan perumpamaan ini kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak.
Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Lukas 18:9-14).
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng.
“YA, Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!” (Luk. 18:13) adalah doa orang berdosa (pemungut cukai, kita) sebelum memohonkan rahmat dan berkat dari Tuhan Allah. Penyumbat rahmat dan berkat (dosa dan kesalahan kita) dimohon untuk dibuka atau dihapuskan agar doa dan harapan kita dikabulkan.
Manusia melihat perbuatan, Tuhan Allah melihat hati. Sering kita merasa aman dan berpikir mempunyai hak menuntut agar diberi apa saja yang kita inginkan karena kita merasa sudah berbuat baik, sudah berjasa, sudah berkorban, dan lain-lain seperti itu. Katakan saja sudah “tanam jasa” seperti misalnya aktif doa, misa, amal kasih, retret, ziarah dan lain-lain. Ketika apa yang kita inginkan itu tidak terwujud, kita menjadi kecewa, frustrasi, stress berat, bahkan sampai-sampai ada yang mempersalahkan Tuhan, mengatakan “Tuhan tidak adil”, “memusuhi” Tuhan.
Dalam bacaan Injil hari ini (Lukas 18:9-14) tampak jelas bahwa Tuhan Allah yang mahakuasa tetap bebas mengambil sikap. Tuhan Allah tidak dipengaruhi oleh “laporan” jasa-jasa dan pengorbanan kita. Tuhan Allah lebih melihat sikap hati kita yang tahu dirinya berdosa di hadapanNya dan sesama! Ada unsur rendah hati atau tidak!
Yang diharapkan adalah rendah hati! Mengakui dosa dan kesalahan dengan tulus dan jujur. “…Tetapi si pemungut cukai itu (kita) berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan memukul dirinya dan berkata: “Ya Allah, kasihilah Aku orang berdosa ini” (Lukas 18:13). Itulah ungkapan yang baik dan benar serta tepat berhadapan dengan Tuhan Allah dan sesama.
Kita beriman dan berdoa secara baik dan benar apabila kita hanya mengandalkan Tuhan Allah, bukan pada “jasa dan kehebatan” diri kita sendiri. Kita membiarkan Tuhan Allah sebagai subyek penentu yang memimpin dan menentukan hidup kita. Itulah sikap beriman yang benar kepada Tuhan Allah dan sesama.
Selamat beriman yang benar. Selamat bersikap rendah hati. Semoga dengan bantuan doa Bunda Maria dan Santo Yosef, Allah Tritunggal Mahakudus (+) memberkati kita sekalian yang bersikap rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama. Amin.