“Tetapi waspadalah terhadap semua orang; karena ada yang akan menyerahkan kamu kepada majelis agama dan mereka akan menyesah kamu di rumah ibadatnya. Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah.
Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu.
Orang akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga seorang ayah akan anaknya. Dan anak-anak akan memberontak terhadap orang tuanya dan akan membunuh mereka.
Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” (Matius 10: 17-22).
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng.
HARI ini kita merayakan Pesta Santo Stefanus, Martir Pertama. Menjadi murid Yesus itu penuh risiko dan sekaligus harus siap menanggung risiko atau konsekwensi mengikuti Yesus/menjadi muridNya. Yesus sendiri sudah menegaskan bahwa “jalan kemuridan” adalah menyangkal diri (“melupakan” urus diri sendiri) dan memikul salib setiap hari.
“Lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena namaKu; tetapi orang-orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat!” (Matius 10:16.22).
Kisah Stefanus, Martir Pertama sesudah kelahiran Yesus, telah menunjukkan “risiko kemuridan” itu: penolakan dan kematian.
Setiap hari kita berhadapan dan bergulat dengan begitu banyak persoalan dan beban hidup serta godaan, realita masyarakat dan “dosa sosial” yang mengganggu hati nurani kita. Dilema sering menghinggapi kita, antara menghadirkan “suara kenabian” atau “diam” karena takut atau malah ikut terlibat di dalam “dosa sosial” itu. Idealnya adalah “berani” menjadi nabi, tetapi risikonya terlalu besar dan mengerikan/menakutkan. Tidak jarang akhirnya kita mungkin saja memlih sikap “diam saja”.
Yesus mengingatkan kita agar tidak takut, khawatir, cemas, sebab jalan hidup seorang murid selalu “disertai, dibimbing oleh gurunya sendiri: Yesus Kristus. Ia telah berjanji (bukan janji palsu/hoax) kepada kita untuk selalu memberi karunia (perlindungan, bimbingan) yang dibutuhkan dalam menghadapi setiap risiko pewartaan Injil.
“Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah. Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan ‘bagaimana’ dan akan ‘apa’ yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu saat itu juga. Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu!” (Matius 10:18-20).
Beranikah kita menjadi murid Kristus sejati yang mau menghadapi segala risiko kemumuridan kita? Santo Stefanus adalah teladan kita. Belajar dari dia! Kita mohon semangat kemartirannya agar bertumbuh dan berkembang dalam hati, hidup dan karya kita menjadi “martir cintakasih bagi sesama di zaman now“.
Semoga dengan bantuan doa Santo Stefanus, Martir, Allah Tritunggal Mahakudus(+) memberkati kita sekalian yang telah menjadi murid Kristus yang sejati. Amin.