JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Pemerintah akan segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerukunan Umat Beragama. Kehadiran Kepres tersebut diharapkan dapat mempermudah perolehan ijin pendirian rumah ibadah yang menjadi salah satu indikator kebebasan beragama/berkeyakinan.
Kepres tersebut merupakan koreksi terhadap penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 dan nomor 8 Tahun 2006 yang di lapangan menemukan banyak sekali kendala.
Berdasarkan kajian sejak setahun lalu atas Peraturan Bersama yang memuat tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadat tersebut dianggap “sudah tidak sesuai dengan situasi sekarang”.
Masih ada umat beragama yang kesulitan mendirikan rumah ibadah, karena tidak mendapatkan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di daerah masing-masing. Kalaupun “nekad” menggunakan bangunan tanpa ijin, maka akan timbul resistensi dari masyarakat, terutama dari kelompok-kelompok intoleran.
Karena salah satu alasan tak keluarnya Ijin Pembangunan Rumah Ibadah (IMB Gereja) adalah karena belum mendapatkan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), maka salah satu ketentuan dalam Perpres tersebut adalah ditiadakannya persyaratan rekomendasi FKUB.
Seperti dituturkan Juru Bicara Kemenag, Anna Hasbie, salah satu perubahan dalam aturan tersebut adalah tersingkirnya rekomendasi FKUB dalam persyaratan perijinan tersebut. Perijinan pendirian rumah ibadah cukup dengan satu rekomendasi dari kantor Kemenag setempat. Tidak lagi memerlukan rekomendasi dari FKUB.
“Intinya tujuan Perpres ini mempermudah pendirian rumah ibadah,” kata Anna Hasbie seperti dikutip BBC News Indonesia, Selasa (06/06).
Selain ditiadakannya rekomendasi FKUB, ada juga perubahan lainnya, terutama terkait dengan persyaratan administrasi berupa 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah. Persyaratan tersebut akan dipermudah.
“Kalau mereka harus mengumpulkan 60 dan 90 agak kesulitan. Jadi mungkin nanti semangatnya mempermudah. Tidak lagi menyulitkan. Karena kalau terlalu sulit melanggar hak asasi manusia untuk beribadah,” jelas Hasbie.
Membangun ekosistem inklusif
Peneliti dari LSM Setara Institute, Halili Hasan, menyebut perubahan aturan pendirian rumah ibadah ini seperti “angin segar” yang telah dinanti lama.
Catatan lembaganya, mayoritas kasus penolakan pendirian rumah ibadah dikarenakan dua hal. Pertama, tidak dipenuhinya syarat administrasi 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah. Kedua, tidak keluarnya rekomendasi dari FKUB.
Padahal kalaupun izin pendirian rumah ibadah masih terganjal kepala daerah seharusnya mengeluarkan izin sementara dan memfasilitasi tempat ibadah sementara, kata Halili.
“Jadi peran FKUB memang harus dikurangi yakni tidak usah memberikan rekomendasi,” katanya. Ia menambahkan, ke depan, peran FKUB harus difokuskan pada kemajuan kerukunan umat beragama dengan memperbanyak pertemuan atau dialog lintas agama.
Tapi lebih dari itu, bagi dia, memangkas otoritas FKUB saja tidak cukup untuk menekan atau meniadakan aksi-aksi penolakan pendirian rumah ibadah di Indonesia.
Kementerian Agama, katanya, juga punya tugas untuk “membangun ekosistem” yang bisa menerima kelompok minoritas.
“Kalau pendirian rumah ibadah disederhanakan tapi tidak ada upaya kemajuan toleransi, penolakan-penolakan tetap ada. Tinggal alasan penolakannya saja yan berubah.” (Admin/dbs).