Sejak Abad II, Tanda Salib Sudah Mentradisi

KITAKATOLIK.COM—Praktek membuat “tanda salib” dalam gereja sejak awal gereja. Para Bapa Gereja, sejak abad kedua telah mencatat hal tersebut. Pendapat mereka bertolak dari beberapa teks  Kitab Suci, terutama dari Wahyu 7,3; 9,4 dan 14,1.

Wahyu 7, 3 misalnya berbunyi: “Janganlah merusakkan bumi atau laut  atau pohon-pohon sebelum kami memeteraikan para hamba-hamba Allah kami pada dahi mereka!” Lalu dalam Wahyu 9 ayat 4: “Dan kepada mereka dipesankan supaya mereka merusak rumput-rumput di bumi atau tumbuhan ataupun pohon-pohon, melainkan hanya manusia yang tidak memakai meterai Allah di dahiNya.”  Selanjutnya, “Dan Aku melihat: Sesungguhnya Anak Domba berdiri di bukit Sion dan bersama-sama dengan Dia seratus empat puluh empat ribu orang dan di dahi mereka tertulis namaNya dan nama BapaNya! (Wahyu 14, 1).

Nah, bertolak dari teks tersebut, di abad kedua, Bapa Gereja Tertullianus menyatakan dalam De cor Mil, iii: “Dalam perjalanan kita dan pergerakan kita, pada saat kita masuk atau keluar, … pada saat berbaring ataupun duduk, apapun pekerjaan yang kita lakukan,  kita menandai dahi kita dengan tanda salib.”

Pada abad keempat, Santo Cyrilus dari Yerusalem (315-386) dalam Catecheses (xiii, 36)  mengajarkan, “Maka, mari kita tidak merasa malu untuk menyatakan Yesus yang tersalib. Biarlah tanda salib menjadi meterai kita, yang dibuat dengan jari-jari kita, di atas dahi … atas makanan dan minuman kita, pada saat kita masuk ataupun keluar, sebelum tidur, ketika kita berbaring dan ketika bangun tidur ketika kita bepergian ataupun ketika kita beristirahat.”

Pada abad yang sama, tepatnya di tahun 373, Santo Ephrem dari Syria, mengajarkan, “Tandailah seluruh kegiatanmu dengan tanda salib yang memberi kehidupan. Jangan keluar dari  pintu rumahmu sampai kamu menandai dirimu dengan tanda salib. Jangan mengabaikan tanda ini, baik pada saat sebelum makan, minum, tidur, di rumah maupun di perjalanan. Tidak ada kebiasaan yang lebih baik daripada ini. Biarlah ini menjadi tembik yang melindungi segala perbuatanmu, dan ajarkanlah ini kepada anak-anakmu sehingga mereka dapat belajar menerapkan kebiasaan ini.”

Lalu, Santo Yohanes Damaskus (676-749) mengajarkan, “Tanda salib diberikan sebagai tanda di dahi kita, … sebab dengan tanda ini kita umat yang percaya dibedakan dari mereka yang tidak percaya.”

Menariknya, pembuatan tanda salib yang sekarang ternyata berbeda dari waktu ke waktu. Pada awalnya, tanda salib hanya dibuat di dahi saja, namun kemudian diajarkan juga untuk membuat tanda salib di mulut (St Jerome, Epitaph Paulae) dan di hati (Prudentius, Cathem., vi, 129).

Paus Innocentius III (1198-1216) kemudian menjelaskan pengertian gerak tanda salib yang kita kenal sekarang. Tanda salib, kata dia, dibuat dengan tiga jari, karena tanda itu dibuat sembari mengucapkan trinitas: “Atas nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus.

Gerakannya bermakna simbolis. Dari atas (dahi) ke bawah (dada atau hati). Itu melambangkan Kristus yang telah turun dari sorga (atas) ke dalam dunia (bawah). Lalu bergerak dari kiri ke kanan yang melambangkan dari kesengsaraan (kiri) kita harus bergerak kepada kemuliaan (kanan), dari kematian kepada kehidupan.  (Admin/dbs)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *