Siprianus Bate Soro, S.Si, MA dan Konsistensi Memberi yang Terbaik

KITAKATOLIK.COM—PASCA tsunami Aceh Desember 2004, banyak organisasi internasional masuk ke  Aceh untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Salah satu lembaga internasional yang datang ke Serambi Mekah tersebut adalah IOM – Organisasi Internasional untuk Migrasi) —  yang saat itu dipercaya untuk membangun kembali rumah-rumah warga yang hancur akibat bencana alam tersebut.

IOM dipercaya  membangun rumah sebanyak 6000 unit yang tentu saja menelan biaya yang sangat besar.  Sebagai penanggungjawab awal proyek kemanusiaan tersebut, Siprianus Bate Soro sering menerima telepon dari beberapa pengusaha yang menawarkan mobil agar proyek bernilai uang tinggi itu jatuh  ke tangan mereka.

Tapi SBS, begitu ia biasa disapa warga diaspora Ngada di Jakarta, ini sama sekali tak  terpengaruh. Ganti melakukan deal-deal tersembunyi, ia  mengundang para pengusaha dan menyampaikan kepada mereka bahwa nilai riil proyek perumahan itu Rp. 24.000.000 per buah.  Tak lebih, dan tak kurang. Dan mereka tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk membayar siapapun.

Keluarga, tempat paling nyaman setelah penat bekerja. Juga sumber inspirasi.

Begitulah. Menolak sogokan sudah merupakan salah satu sikap yang secara konsisten dipraktekkannya.  Saat bertugas di Kupang, NTT, ia dipercaya untuk mengurus percetakan sebanyak jutaan eksemplar. Banyak pengusaha percetakan mengajaknya “bekerjasama” dengan janji akan mendapatkan imbalan memuaskan. Tapi pria kelahiran Mataloko, 8 Agustus 1972, ini menolak dengan tegas.

Apa yang membuatnya teguh menolak peluang korupsi? Kultur organisasi internasional dengan tuntunan perilaku anti korupsi yang diimplementasikan secara tegas, kata suami dari Maria Yasinta Sina, ini menjadi salah satu faktor yang  membuat dia dan teman-temannya terhindar dari korupsi. Apalagi ditunjang dengan gaji yang cukup. Tapi, kata dia, kedua hal itu bukan faktor utama.

“Yang paling pertama dan utama adalah karena  kita dididik sejak dini di keluarga untuk  tidak nyolong,  kerja lurus, tidak curi-curi. Bahkan kalau kita melakukan sesuatu yang keliru saja,  kita merasa tidak nyaman. Go gita  go gita, go ngata go ngata (milik kita punya kita, milik orang ya punya oran).  Itu prinsip yang ditanamkan sejak kecil,” kata ayah dari Shannon, Samudera dan Stacy ini.

Pendekatan manusiawi  

Didukung kefasihan berbahasa Inggris ditambah hati yang suka membantu, sejak meraih gelar Sarjana Sains dari Jurusan Fisika, Universitas Gajah Mada, Sipri yang oleh orang-orang di kapung halamannya sering disapa Ipi ini  malang melintang di lembaga-lembaga internasional.

Pertama, dari tahun 1999-2002, ia tergabung dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni UNHCR (Badan PBB Urusan Pengungsi). Kariernya di lembaga ini berakhir selaku koordiantor kantor penguhubung UNHCR Kupang dengan fokus pada solusi berkelanjutan bagi permasalahan pengungsi Timtim.

Kemudian, sejak 2002-2007, SBS bergabung dengan IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi) dengan jabatan terakhir sebagai Capacity Building Officer  for Migration Management Project yang fokus pada penguatan upaya pemerintah mengatasi imigran gelap di Indonesia.

Dan sejak 2008 pria bertubuh subur yang sangat fasih berbahasa daerah yang kaya dengan ungkapan-ungkapan penuh makna ini bergabung dengan Badan Pembangunan PBB (UNDP). Saat ini ia menjabat  selaku Assistant Resident Representative and Team Leader for Democratic Governance and Poverty Reduction Unit (DGPRU).

“Tugas utamanya adalah  mengelola berbagai program penguatan tata pemerintahan dan pemberantasan kemiskinan di berbagai wilayah di Indonesia, dari Aceh sampai Papua,” katanya.

Keterlibatannya dalam tugas-tugas kemanusiaan, membuatnya bukan hanya mendapatkan banyak pengalaman, tapi juga kaya akan nilai-nilai kemanusiaan. Tak hanya sekedar berempati dengan kondisi tak menguntungkan – para pengungsi dan korban bencana –, tapi menjadi bagian dari solusi-solusi inovatif konkrit dan berkelanjutan.

Pengalaman perjumpaan itu, membuatnya makin matang dalam hubungan kemanusiaan. Pada Januari hingga Juli 2007, di bawah IOM, ia memimpin Program Pemulihan Masyarakat Pasca Konflik. Ia berkeliling hampir ke semua kecamatan di Aceh yang warganya masih trauma karena perang. Ia masuk sampai ke kampung-kampung.

“Kita terapkan gaya komunikasi seperti orang di kampung-kampung kita di Ngada. Kita tidak segan sama mereka. Kita duduk di mana saja. Itu yang membuat mereka  respek dan percaya. Karena percayanya, saya belajar hingga fasih bahasa Aceh, dan pernah diminta menjadi saksi nikah seorang sahabat yang muslim di Aceh,” cerita Sipri.

Setelah berpindah ke UNDP di tahun 2008, Sipri dipercaya untuk memimpin Program Penguatan Tata Pemerintahan di Aceh. Karena baru mendapatkan status otonomi khusus plus kehilangan birokrat terbaik akibat tsunami, maka paket sistem penguatan pemerintahan yang dilakukan sangat lengkap. Mulai dari penyusunan kebijakan, penyusunan program, implementasi program hingga monitoring program.

Selalu terbaik

Dalam menjalankan setiap peran kehidupan yang diberikan kepadanya, peraih gelar MA  dari Institute for Development Policy and Management (IDPM) dari University of Manchester, ini selalu berusaha melakukanya degan kualitas prima.

Kebiasaan untuk memberi yang terbaik itu sebenarnya sudah dilakoninya sejak masa kanak-kanak. Hal itu bisa terbaca dari prestasi akademis yang diraih dalam setiap jenjang pendidikannya.

Putra pertama dari Bapak Yoseph Jawa dan mama Matrona Dili ini masuk menamatkan Sekolah Dasar Inpres Wogo tahun 1985  dengan angka NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi. Prestasi ini patut diacungi jempol karena tantangan belajar yang tak ringan. Jarak antara rumah dan sekolah kurang lebih 10 KM jauhnya. Sebagai murid kelas 1 SD, pagi-pagi buta, bersama beberapa teman, mereka berangkat ke sekolah.

“Kita selalu bawa bekal berupa jagung bakar, ubi bakar, tebu, jagung goreng yang ditaruh dalam lega. Tiap hari kita harus mendaki dua gunung, Wolo Reko dan Wolo Deru. Bekal tak dibawah ke sekolah, tapi digantung di pokok-pokok kayu di hutan Wolo Reko. Pulang sekolah baru kami makan bekal itu,” cerita Sipri.

Meski jauh, dan sering harus menapak di tanah berlumpur, semangat mereka tak pudar. Selain karena keingian untuk maju, juga karena hukuman keras yang diberikan orangtua jika bolos sekolah.

“Tidak boleh alpa atau terlambat. Kalau alpa, orangtua suruh kita berlutut di atas sarang semut merah. Memang keras,  tapi itu cukup untuk membuat kita benar-benar tobat,” katanya.

Tamat SD, ia masuk sekolah di Laja. Bila di SD dia saban hari mendaki, di SMP perjalanannya menurun sekitar 5 Km  melalui pematang sawah. Di tahun kedua, ia memilih tinggal bersama pamannya agar lebih intensif belajar. Tak sia-sia, ia keluar sebagai siswa berprestasi. Untuk seluruh  Kabupaten Ngada, ia masuk dalam sebelas besar.

Lanjut ke SMA Negeri 435 Bajawa, dia masuk sebagai siswa dengan bekal NEM tertinggi dan masuk jurusan Fisika. Ia tamat, juga dengan NEM tertinggi dan kemudian masuk UGM.

Dalam balutan budaya.

Kebiasaan membaca dan ketekunan belajar, rupanya menjadi kunci suksesnya. Di SD dia mengaku membaca buku apa saja yang didapatinya, termasuk majalah “Kunang-Kunang”. Di SMP, kerajinannya makin kentara karena orangtua memperlengkapinya dengan buku pelajaran dan beberapa buku lainnya. Saat di SMA, ia sering nongkrong di emperan toko untuk membaca buku yang dijual di sana. Juga beberapa buku yang didapat dari beberapa pelancong atau turis asing yang berkunjung ke Flores.

Kemampuan berbahasa Inggris yang sudah dirintisnya sejak SMP, memberanikan dirinya untuk menjadi guide saat duduk si SMA. Karena kemampuannya memelihara relasi, beberapa dari pelancong yang dia damping  ke beberapa obyek wisata di Flores, di kemudian hari menjadi Bapak Angkatnya. Mereka inilah yang kemudian menyokongnya dalam pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi.

Sebagai balasan atas sokongan mereka, ia selalu memberikan bukti kesungguhan melalui prestasi akademis yang bagus  sekali.

Masuk dalam dunia kerja, ia terus berusaha memberikan yang terbaik, entah terkait profesi, dalam komunitas etnis Ngada maupun dalam keluarga.

Do your best, and let God do the rest” dan “Opportunity only comes to those who are prepared”  dipilih pria murah senyum ini  sebagai  motto hidupnya. (Paul M.G)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *