SINTANG,KITAKATOLIK.COM—Baru tegukan pertama minuman baram (semacam tuak yang terbuat dari beras kencur) itu melewati kerongkongannya, Pastor Elias Silvinus Endi langsung limbung, lemas sekali. Ia berusaha tetap tegak. Dari mulutnya keluar gumpalan darah berukuran lumayan besar. Matanya nanar.
Sebelum masuk ke rumah betang, rumah khas Dayak, tempat insiden itu terjadi, sebenarnya ia sudah diperingatkan oleh Pak Anton yang saat itu melayani sebagai Ketua Stasi, untuk tidak menerima minuman dari tangan orang yang paling tua di kampung itu.
Awalnya, Pastor Endi yang saat itu masih berusia 30 tahun dan baru tiga tahun sebagai imam ini mencoba patuh. Tapi karena Bapak Yohanes Sandan, pria tertua di kampung itu, terus saja menawarkan baram, maka di tawaran keempat, pastor kelahiran Ngalupolo, Ende, Flores, NTT kelahiran 17 Pebruari 1964 ini terpaksa menerimanya.
“Tuhan kalau ini memang racun, selamatkanlah saya!” doanya sebelum menenggak minuman itu. Tapi baru satu tegukan, ia muntah darah, segumpal. Tubuhnya lemas. Mujur tak jatuh. Perlahan ia duduk. Dan setelah agak fit, ia mengajak beberapa orang ke rumah Yohanes Sandan yang setelah memberikan minuman langsung balik ke rumahnya.
Ajakan pastor ke rumah Bapak Yohanes Sandan itu tegas ditolak sebagian besar umat yang hadir. Pasalnya rumah Yohanes Sandan dikenal paling angker dan penghuninya juga sangat ditakuti karena punya banyak magic. Tapi romo Endi tetap ke sana dan ternyata diterima dan dilayani dengan baik.
“Dia mengaku bila racun yang dia beri itu mematikan. Dia heran, kok saya tidak mati. Dia lalu mengatakan bahwa saya pasti punya ilmu atau kekuatan lebih tinggi dari dia. Saya katakan bahwa saya tidak punya ilmu apa-apa, tapi hanya mengandalkan Tuhan,” cerita pastor Endi tentang peristiwa yang terjadi di Ranto Kalis, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat puluhan tahun lalu.
Teman seangkatan Uskup Keuskupan Maumere Ewaldus Martinus Sedu, ini lalu meminta Bapak Yohanes Sandan mengeluarkan semua magic yang dia miliki yang ternyata banyak sekali. Ia meminta orangtua itu memisahkan magic hitam dan putih, yang jahat dan yang baik, yang membunuh dan yang membantu orang. Magic yang baik diserahkan kembali ke Bapak Yohanes Sandan agar digunakan untuk menolong banyak orang.
BACA JUGA: Pergumulan dan Jurus Pastor Endi Memenangkan Hati Umatnya kitakatolik.com/pergumulan-dan-j…kan-hati-umatnya/
“Magic hitam, atau yang buruk, saya bakar di bawah tangga depan rumahnya dan mendatangkan bau yang sangat menyengat,” kata anak kelima dari 9 bersaudara ini. Setelah ludes dimakan api, pastor Endi pun kembali naik ke dalam rumah panggung dan menghirup kopi yang sudah disiapkan tanpa takut sedikit pun.
Pergumulan batin terjadi dalam diri pria renta yang saat itu berusia lebih dari 70 tahun itu. Dengan suara agak gemetar tapi berwibawa, ia menuturkan keinginannya untuk masuk katolik dan minta romo Endi membabtisnya (menjadi katolik). Ia juga meminta kesediaan dari pastor muda itu untuk menjadi anaknya.
Hidup baru mulai dijalani Bapak Yohanes Sandan. Romo Endi pun dikuatkan untuk terus melayani tanpa kecut dan penuh gembira dan optimisme karena mengalami langsung penyertaan Tuhan dalam tugas pelayanannya di pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya di lingkup Keuskupan Sintang.
Hubungan keduanya benar-benar layaknya anak dan orangtua. Hingga tiga tahun kemudian, Bapak Yohanes Sandan meninggal dalam pelukan dan gendongan anak angkatnya itu.
“Selama tiga bulan dia sakit. Dia nyatakan kepada semua orang bila dia baru akan meninggal setelah anak pastornya datang. Dan betul, setelah saya berkeliling ke lima paroki yang saya tangani saat itu dan kembali ke Ranto Kalis, dia meninggal setelah bertemu saya,” cerita imam yang dikenal sebagai pemain banyak jenis olahraga saat di Sekolah Menengah Seminari Santo Yohanes Berchmans, Toda Belu, Mataloko, Ngada, Flores ini.
Lima Paroki Sekaligus
Tahun 1992. Sesuai rencana, Diakon Endi seharusnya ditahbiskan pada 12 Desember 1992. Tapi karena gempa dasyat yang terjadi di Flores dan meluluhlantakan banyak daerah di Kabupaten Sikka dan Ende, tahbisannya dilaksanakan pada 15 Desember 1992 di Katedral Ende. Bukan di dalam gereja, tapi di lapangan. Makanya ia disebut “Romo Gempa”.
Setelah tahbis, ia kembali melayani di Keuskupan Sintang. Pada tahun 1994 hingga 1996, ia melayani sebagai Pastor Paroki untuk lima paroki sekaligus. Yaitu Paroki Keluarga Kudus Bika Nasareth, Gereja Santo Petrus Embaloh, Paroki Santo Paulus Bunut, Paroki Santa Perawan Maria Nanga Pinoh, dan Paroki Penampakan Tuhan Siut Melapi.
“Hampir sebagian besar waktu kita di jalan, jalan kaki dari kampung ke kampung. Saat itu sepeda motor belum ada, kuda pun tak ada. Lebih banyak melalui sungai. Kalau lewat sungai ya kita pakai speed boat. Selebihnya jalan kaki dan itu bisa berjam-jam, delapan sampai sembilan jam tanpa henti,” cerita pastor Endi.
Perjalanan panjang dan melelahkan itu dijalani sendirian. Dengan memanggul rangsel besar, ia melewati hutan-hutan perawan dengan resiko tersesat. Tapi masyarakat mengajarinya, patahkan kayu sebagai tanda sehingga ingat jalan pulang.
Kebanyakan umat berprofesi sebagai petani ladang. Pendidikan mereka pun sangat terbatas. Biasanya di setiap paroki para imam dibantu oleh seorang katekis (guru) yang dibayar keuskupan. Tapi di Paroki, pastor Endi harus mengerjakan segalanya sendiri.
“Semuanya serba sendiri. Makan, masak sendiri. Cuci sendiri, bahkan kebersihan pastoran pun harus ditangani sendiri juga, sampai dengan menebas rumput. Umat ada, tapi mereka menonton, karena mereka melihat itu sebagai kerja pastor, bukan kerja umat. Tidak ada karyawan dan karyawati. Sampai hari ini pun saya masih urus semuanya sendiri,” cerita anak kelima dari sembilan bersaudara ini.
Suatu kesempatan, ia tersesat di perjalanan. Sekitar pukul 20.00 malam, ia melewati ladang milik umat. Cahaya bulan belum terlalu tampak. Tiba-tiba romo Endi merasa ada sesuatu yang melesat di dekat telinganya. Ia kaget luar biasa.
“Saya pastor,” teriaknya. Serentak umat tersebut minta maaf karena telah melemparkan tombak ke arah pemimpin spiritualnya. Beruntung meleset. Umat mengira yang berjalan dalam kegelapan itu adalah seorang pencuri atau pemenggal kepala anak-anak untuk kepentingan pembangunan jembatan.
Berjalan di tengah hutan, tentu juga berisiko diganggun binatang buas. Beberapa kali ia digigit ular berbisa. Tapi semuanya itu tak membuatnya menyerah.
“Saya percaya pada pernyataan Yesus bahwa kalau kamu ikut Yesus, racun-racun berbisa pun tidak bisa mematikan engkau. Keyakinan itu membuat saya makin semangat melayani. Itu semua membuat saya makin tekun dalam panggilan,” katanya. (Paul MG).