Bupati Manggarai Tentang “Kediaman” Mgr. Hubertus Leteng Dan Kematiannya yang Mengeritik Kita

RUTENG,KITAKATOLIK.COM—Bupati Manggarai  Heribertus Nabit memaknai “kediaman” Mgr.Hubertus Leteng Pr saat memberikan kata sambutan di akhir Perayaan Ekaristi Pemakaman Mgr. Hubertus  Leteng, Pr, Rabu siang (3/8/2022).

Selain sederhana, Heribertus mencatat Mgr Hubertus Leteng sebagai pribadi yang diam, pun ketika diterpa masalah saat  menjalankan tugas kegembalaannya sebagai Uskup  Ruteng dari 2010 hingga  2017 yang akhirnya membuatnya mengundurkan diri dan melayani sebagai imam biasa di Garut, Jawa Barat.

“Kita tahu dia diam karena tidak pernah ada nada protes dan mengeluh sedikitpun dari mulutnya.  Diamnya Mgr. Hubert adalah kira-kira seperti diamnya Bunda Maria. Meyimpan segala sesuatu di dalam hatinya. Tanpa banyak tanya, tanpa banyak kata, tapi membingkai segenap perjalanan hidupnya hanya dalam Kehendak Tuhan,” katanya dalam nada sendu.

Berikut kutipan lengkap kata sambutan pelepasan dari Bupati Heribertus yang dalamnya juga termuat rasa terima kasih kepada Mgr.Antonius Subiato Bunjamin karena kesediaannya menerima Mgr Hubertus untuk melayani di salah satu parokinya:

Menyimpan dalam hati

“Jalan Mgr. Hubertus menuju sorga yang mendadak dan sederhana adalah kritik bagi kita semuanya. Bahwa hidup harus dijalani dengan sederhana dan dalam diam. Diam-diam dia pergi di hari minggu itu, ketika kita sedang siap-siap ke gereja.

Kita tahu dia diam, karena tidak pernah ada nada protes dan mengeluh sedikitpun dari mulutya. Dari pengalamannya selama  di Garut, tersaksikan bahwa Mgr. Hubert punya devosi yang kuat kepada Bunda Maria.  Diamnya Mgr Hubert adalah kira-kira seperti diamnya Bunda Maria. Menyimpan segala sesuatu di dalam hatinya. Tanpa banyak tanya, tanpa banyak kata-kata, tapi membingkai segenap perjalaan hidupnya hanya dalam Kehendak Tuhan.

Bagi kami, bagi saya, diamnya Mgr. Hubert, bukan karena tidak mau omong. Tapi itulah sikap dasarnya yang memang secara sadar dan sengaja dia pilih. Dan itulah yang terjadi dalam perjumpaan kami dengan beliau secara priadi bertahun-tahun yang lalu, meski  singkat.

Diamnya adalah mendengarkan. Menyimak. Bicaranya juga terukur dan yang perlu-perlu saja. Dengan diamnya ini, akhirnya sedikit membantu saya untuk   mengerti bagaimana dia mengelola kenyataan yang menurut kita kontroverial.

Pergi dalam sepi

Kehadirannya di Keuskupan Ruteng untuk memimpin, menggembalakan kita semua dimulai dengan sorak sorai, gegap gempita, sukacita  lagu dan tari. Saya kira kita semua ingat hari itu.

BACA JUGA: Ribuan Umat dan Seratusan Imam Hadiri Pemakaman Mgr.Hubertus Leteng    https://www.kitakatolik.com/ribuan-umat-dan-…-hubertus-leteng/

Tapi lima tahun lalu,  dia harus pergi dari sini, dalam sunyi, sepi dan sendiri. Tapi saya percaya, kita semua tetap mendoakan dia, ketika dia pergi dari Manggarai. Dia tidak perah menantang apapun juga, betapapun gemuruh  kata dan suara sumbang, tidak pernah dia tantang. Dia juga tidak mengelak dari badai yang menggucang. Dia menerima dalam diam.  Tapi kita belajar bahwa dalam diamnya,  Mgr. Hubert mengolahnya  menjadi enerji  dalam jiwa. Maka semua derita dan sakit, apapun jenis dan takarannya, bagi  Mgr Hubert harus dihadapi dengan sendiri. Tanpa perlu masyarakat banyak mengetahui atau bahkan menghayatinya.

Ia menjalani semuanya dengan sendiri. Karena itu  kami harus  mengucapkan terima kasih kepada Bapa Uskup Bandung yang menjadi pedamping, mendampingi saudara kami, Bapak kami selama lima tahun terahir.

Bahasa kesederhanaan

Dia adalah orang yang sederha. Ini gambaran yang ada dalam diri Mgr. Hubertus. Bukan hanya yang dia kenakan rapi, tapi seluruh gesture, bahasa tubuhnya adalah bahasa kesederhanaan. Dan  kita semua tahu itu, dari bahasanya  yang teratur,  sopan satun, tidak dibuat-buat, yang memperlakukan  kita sebagai lawan bicaranya sebagai saudara.  Padahal dia doctor teologi. Seluruh  hidupnya dihabiskan di lembaga pendidikan dan dengan sendirinya dia punya watak ilmiah. Tapi dia tetap  mempertahakan kesederahaaan. Kesederhanaan itu  yang harus menjadi contoh bagi kita semua.

Menjadi saudara

Tapi kita juga paham dari moto tahbisan uskupnya: “Kalian  semua adalah Saudara. Dan begitulah dia menjadi saudara selama bertahun-tahun untuk kita  semua. Saudara yang mengertitik, saudara yang menyanyangi, saudara yang punya kelebihan, dan saudara yang juga punya kekurangan.

Bagi kami hari ini dan beberapa hari terakhir, kepergian Mgr Hubert  adalah cermin bagi kita semua  untuk menjadi mausia yang sederhana yang bisa merangkum dan merangkul sebanyak mungkin orang.

Dari Mgr Huert kita belajar bahwa yang dimaksud keluarga bukan sebatas sanak famili dan koneksi, melainkan meluas ke sebanyak mungkin saudara-saudara sesama manusia. Semua itu ia tunjukkan hingga akhir  hayatnya.

Hari ini, yang tinggal untuk kita sebagai orang beriman adalah pelajaran bahwa semangat atau spirit kesederhanaan dan diam dalam hidup harus terus kita jalani.

Kita percaya bahwa tidak ada orang kudus tanpa masa lalu yang gelap.  Kita juga percaya bahwa setiap orang berdosa seperti kita ini, tetap punya masa depan. Karena kita hidup dalam sebuah persaudaran.

Dengan  keyakinan itu dan  dengan duka yang mendalam, kami mayarakat Maggarai melepaskanmu, Mgr Hubert. Raga boleh berpisah,  tapi semangatmu akan tetap ada.”  (Admin)

One Comment on “Bupati Manggarai Tentang “Kediaman” Mgr. Hubertus Leteng Dan Kematiannya yang Mengeritik Kita”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *