Inti dari Pendidikan adalah Penguatan Karakter

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Inti dari pendidikan adalah penguatan karakter.  Begitu kesimpulan Romo Eduard Calista Ratu Dopo, SJ atas perjalanan imamatnya selama lebih dari 30 tahun yang hampir semuanya diabdikan di lembaga pendidikan, terutama di Kolese Santo Yoseph, Dili dan di  Kolese Kanisius, Jakarta.

“Pengetahuan itu relatif. Tapi penanaman kharakter seperti kejujuran dan segala macam itu  seperti  etika, ethos kerja, semangat dan mentalitas merupakan sumbangan kita yang  paling besar. Kalau pengetahuan, ‘kan sekarang terbuka lebar. Tapi bagaimana menata kharakter anak itu sulit dana penuh tantangan,” kata Direktur SMA  Kanisius, Jakarta ini.

Romo Eduard Calista Ratu Dopo, SJ

Dan pedidikan karakter itu, kata romo Edu, menuntut ketekunan, kesetiaan dan ketabahan. Seperti halnya petani, yang setelah menanam padi atau jagung, melihat dengan teliti perkembangan tanamannya, demikian pula para pendidik  terhadap anak didiknya.

“Yang paling penting itu unsur pedagoginya. Melihat anak satu persatu, tidak massal, kemudian mengikuti perkembangannya. Di situ letaknya. Kalau itu tidak dilakukan, tidak ada guna semuanya,” tuturnya.

Zona damai

Dari beberapa tempat pengabdiannya, Romo Edu merasakan kolese Santo Yoseph Dili, Timor-Timur sebagai tempat yang paling mengesankannya. Bukan karena kualitas anak-anak di Timor-Timur lebih baik atau berkualitas, tapi karena tantangannya terasa lebih berat dan dinamis.

Menurut dia, semula  sekolah tersebut merupakan sekolah “merah”, banyak muridnya merupakan anak kelompok Fretelin. Nah tantangan bagi romo Edu saat ditempatkan di sana adalah  bagaimana merubah sekolah tersebut menjadi sekolah merah ditambah putih atau pun sebaliknya.

“Akhirnya sekolah itu menjadi sekolah campur baur. Di situ ada anak orang  kemerdekaan, otonomi, dan ada juga anak pro integrasi,” jelasnya. Dia menambahkan,  semua kelompok masuk ke sekolah Santo Yoseph karena mengetahui persis bahwa  tidak ada misi politik dalam sekolah tersebut. Murni misi kemanusiaan.

Maka jadilah di situ berkumpul anak dari Xanana Gusmao, anak Fretelin, juga ada anak  dari Abilio Soarez dan ada juga anak Eurico  Guterez. Meski haluan politiknya saling berseteru, tapi mereka sepakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di Santo Yoseph.

“Mereka mengganggap sekolah ini sebagai zona damai,” kata pastor Eduard yang menganggap pendidik  sebagai panggilan hidupnya. (pamago).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *