TANGERANG,KITAKATOLIK.COM—Nomen est omen, nama adalah tanda. Tentu bukan tanpa harapan ketika Johan Tarore dan Lilik Ratna Kumala menyematkan nama Yohanes kepada anak kedua mereka.
Sebagai penganut Katolik, ibunya berharap agar anak keduanya yang lahir pada 30 Januari 1986 itu bisa menampakkan teladan hidup Santo Yohanes Pembabtis atau Yohanes, murid yang sangat dikasihi Yesus.
Seperti Yohanes Pembabtis, ia diharapkan bisa menjadi “suara yang berseru-seru di Padang Gurun” dengan seruan untuk menimbun setiap “lembah”, meratakan setiap bukit dan gunung, meluruskan setiap jalan yang berbelok-belok, dan memperbaiki setiap jalan yang berlubang seperti tersirat dalam Injil Lukas 3:5.
Harapan orangtua tersebut berpeluang besar terealisasi ketika Johanes Jeffry Tarore S.I.Kom menguatkan tekad masuk dalam dunia politik praktis. Keterlibatan dalam politik praktis, diyakininya merupakan jalan mewujudkan keadilan dan merealisasikan kesejahteraan umum.
Melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan bapak pluralisme, kebhinekaan dan hak-hak kaum minoritas KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), suami dari Thirza Nadia Wulandari Tumbelaka ini bertekad kuat untuk menyuarakan suara nurani masyarakat, terutama kelompok minoritas di Indonesia, di mana dia menjadi bagiannya.
Dalam Pemilu Pebruari 2024 nanti, ia ikut dalam kontestasi Pileg untuk DPR RI dari Daerah Pemilihan Banten 3 yang meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Tangerang Selatan. Dia mendapatkan nomor urut 4 dari PKB.
Menjembatani
Sekolah Katolik menjadi kolam pertama Jeffry menimba nilai. Sejak TK hingga SMA, Jeffry belajar di Sekolah Katolik Regina Pacis, Palmerah, Jakarta Barat. Selain nilai-nilai yang bersumber dari kekayaan nilai kekatolikan, Jeffry mengalami hidup dalam keberagaman yang guyup dan cair.
“Para murid berasal dari pelbagai golongan. Di sana berbaur para murid yang miskin, kaya. Di sana ada anak Satpam, juga ada anak pengusaha besar. Muridnya pun berlatar banyak agama. Tapi kita dididik dan dibiasakan untuk saling menghargai dan menghormati. Toleransi dan moderasi terpupuk sejak di Regina Pacis,” kata umat Paroki Maria Bunda Karmel, Tomang, Jakarta Barat ini.
Pengalaman hidup dalam keberagaman tersebut juga dialami saat belajar di The London School of Public Relation (LSPR), Jakarta. Para mahasiswa yang berasal dari beragam etnis, agama dan budaya, bisa bergaul dengan akrab, cair dan guyup.
Pengalaman keberagamaan tersebut menjadi modal personal baginya dalam meniti dan mengembangkan kariernya di Perusahaan berskala besar, Mitra Adiperkasa, TBK (MAP). Sejak magang di tahun 2008, kariernya terus naik hingga menduduki posisi Gift Voucher Division Manager, satu tingkat di bawah General Manager.
MAP sendiri merupakan peritel gaya hidup terkemuka di Indonesia dengan lebih dari 3.200 gerai ritel dan beragam portofolio yang mencakup sports, fashion, department stores, kids, food & beverage serta produk-produk lifestyle. Beberapa merek terkemuka yang dikelola oleh MAP termasuk Starbucks, Zara, Marks & Spencer, SOGO, SEIBU, Oshkosh B’Gosh, Converse, di antara lainnya.
Di MAP, Jeffry mengaku banyak belajar. Perusahaan ibarat sekolah. Ia banyak berhubungan dengan orang asing, seperti dari Filipina, Jerman, India. Amerika dan Vietnam. Ia mengalami pergaulan multikulural dan lintas negara. Tahun 2020, ia pindah kerja ke Kanmo Retail Group (KRG), sebagai konsultan.
“Sepanjang kerjaan saya dari dulu, saya selalu jadi jembatan. Di Perusahaan, saya jadi jembatan antara customer dengan perusahan. Jadi kita di tengah. Saya jembatan antara vendor dengan perusahan. Sekarang jembatan antara masyarakat dengan pemerintahan,” katanya.
Menguatkan kebhinekaan
Searah visi dasar pendirian PKB yang digagas Gus Dur, Jeffry bertekad bulat untuk memperjuangkan kebhinekaan dan menjaga agar toleransi antara agama makin tinggi.
“Jujur saja, masyarakat kita masih di level di mana agama itu sensitif. Jadi gampang banget bisa dipecah belah karena isu agama. Jadi kita harus bisa jaga toleransi, saling respek dan tahan ego,” terangnya.
Misi utama lainnya adalah menjadi saluran atau jembatan terpenuhinya harapan dan aspirasi masyarakat, terutama di daerah pemilihannya. Ia menginventarisir beberapa masalah real yang dialami masyarakat di Dapilnya seperti penerangan di jalan dan public area, prasarana jalan, pendidikan inklusif.
“Kalau omong janji-janji, hampir semua Caleg DPR janjinya sama. Yang penting jangan bikin janji Tuhan atau janji sorga, janji yang melebihi dari yang seharusnya,” kata pria yang dalam interaksi sosial selalu berusaha mengangkat satu sama lain ke level yang lebih tinggi ini. (Paul MG)